Ruang.co.id – Ketika lonceng logam Gereja berhenti berbunyi sejak Kamis Putih hingga Sabtu Suci, sebuah alat kayu sederhana bernama Crotalus mengambil alih perannya. Bagi umat Katolik, benda ini bukan sekadar pengganti lonceng, melainkan simbol keheningan yang mengajak mereka menyelami makna terdalam pengorbanan Yesus.
Di balik bunyinya yang khas—seperti derakan kayu yang diputar—tersimpan filosofi liturgi yang jarang terungkap. Mari kita telusuri mengapa Crotalus menjadi elemen krusial dalam Tuguran, momen berjaga-jaga umat Katolik di malam Kamis Putih.
Fungsi Spiritual Crotalus dalam Liturgi
Crotalus memiliki peran unik dalam tradisi liturgi Katolik. Alat ini digunakan secara eksklusif selama Trihari Suci, khususnya saat prosesi pemindahan Hosti Kudus ke Altar Tuguran. Bunyinya yang sederhana sengaja dirancang untuk tidak mengganggu kesakralan momen, namun tetap menjadi penanda transisi ritual.
Gereja sengaja menghindari bunyi logam selama masa ini sebagai bentuk penghormatan atas duka kematian Yesus. Crotalus, dengan material kayunya, mewakili kerendahan hati dan kesederhanaan—sifat yang dijalankan Kristus hingga akhir hayat-Nya. Di beberapa paroki seperti Gereja Katedral Jakarta, misdinar akrab menyebutnya pletekan, istilah yang mencerminkan kekhasan lokal.
Asal-Usul dan Makna Filosofis
Dari Krotalon Yunani ke Altar Modern
Nama Crotalus berasal dari bahasa Yunani krotalon, yang merujuk pada alat musik kuno berbentuk kayu. Dalam konteks liturgi Katolik, alat ini mengalami transformasi makna. Ia tidak lagi sekadar alat musik, melainkan media partisipasi aktif umat dalam ibadah.
Bunyi yang Mengajak Kontemplasi
Berbeda dengan lonceng logam yang nyaring, suara Crotalus cenderung lembut dan berirama. Desainnya yang sederhana—biasanya terdiri dari dua bilah kayu yang saling beradu—menciptakan efek suara tek-tok yang khas. Bunyi ini dirancang untuk mengajak umat berhenti sejenak dan merenungkan makna pengorbanan Kristus.
Keunikan Crotalus dalam Tradisi Lokal
Tidak semua umat Katolik menyadari bahwa Crotalus memiliki sebutan berbeda di tiap daerah. Di Jawa, alat ini sering disebut klotokan atau keprak, sementara di kalangan misdinar Jakarta, istilah pletekan lebih populer.
Variasi nama ini menunjukkan bagaimana budaya lokal berpadu dengan liturgi universal. Meski namanya berbeda, fungsinya tetap sama: menjadi penanda sakralitas dalam momen-momen paling khusyuk di tahun liturgi.