DPRD Jatim Desak BPJS Utamakan Pelayanan Kesehatan daripada Keuangan

DPRD Jatim Kebijakan BPJS Kesehatan
Anggota DPRD Jatim dr. Beny memberikan keterangan terkait kebijakan BPJS Kesehatan di Jawa Timur.
Ruang Gentur
Ruang Gentur
Print PDF

Surabaya, Ruang.co.id – Kebijakan BPJS Kesehatan yang dianggap lebih fokus pada ketepatan finansial dibandingkan peningkatan pelayanan kesehatan menuai kritik dari DPRD Jawa Timur. Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi E DPRD Jatim, Kepala BPJS Provinsi Jawa Timur, dan pimpinan rumah sakit, sejumlah keluhan mencuat terkait kendala yang dihadapi rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada pasien BPJS.

Anggota Komisi E DPRD Jatim, dr. Benjamin Kristianto, menegaskan bahwa sebagai lembaga asuransi kesehatan milik negara, BPJS seharusnya mengutamakan pelayanan kesehatan masyarakat di atas segala pertimbangan keuangan. “BPJS adalah lembaga asuransi milik negara. Yang harus diutamakan adalah pelayanan kesehatannya, bukan semata-mata mengutamakan ketepatan keuangannya,” ujar dr. Beny, sapaan akrabnya, usai rapat.

Dalam forum tersebut, dr. Beny menyampaikan keprihatinannya atas curahan hati beberapa rumah sakit besar di Jawa Timur, seperti RSUD Dr. Soetomo dan RS Dr. Soedono. Kedua rumah sakit itu merasa terbebani oleh kebijakan pengembalian dana setelah proses verifikasi keuangan BPJS.

“RS Dr. Soedono bahkan harus mengembalikan dana hingga Rp11 miliar karena verifikasi keuangan. Ini jelas memberatkan mereka,” kata dr. Beny.

Ia menambahkan bahwa BPJS perlu lebih mendalami alokasi dana oleh rumah sakit untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Jika dana yang tersedia masih kurang, BPJS seharusnya menambah anggaran demi memastikan pelayanan tetap berjalan optimal.

Dr. Beny juga menyoroti alokasi dana BPJS untuk penyakit jantung yang mencapai Rp17 triliun. Ia menyebut, pasien penyakit jantung sering kali berasal dari kalangan mampu yang sebenarnya dapat membiayai pengobatan sendiri.

“Selama ini pengguna BPJS lebih banyak untuk penyakit seperti tifus atau diare. Namun, ada aturan aneh seperti pasien tifus yang tidak boleh menggunakan BPJS sebelum muntah-muntah selama tiga hari. Begitu juga pasien diare, baru bisa menggunakan BPJS jika sudah pingsan. Apakah masuk akal kita harus bertanya kepada pasien, ‘Kamu sudah muntah berapa kali?’ Baru setelah itu ditolak?” ungkapnya.

Baca Juga  DPRD Jatim Terapkan Piket Harian: Wujud Nyata Pelayanan Publik

Dr. Beny mengusulkan agar pasien dari kalangan mampu yang menderita penyakit seperti jantung lebih baik menggunakan dana pribadi, sehingga dana BPJS dapat dialokasikan untuk masyarakat yang lebih membutuhkan.

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas, dr. Beny mengusulkan agar BPJS menempatkan satu petugas di setiap rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS. Petugas ini bertugas memantau langsung proses pelayanan kesehatan sehingga fokus pelayanan tetap pada kesehatan, bukan hanya keuangan.

“Dengan adanya petugas BPJS di rumah sakit, mereka bisa tahu langsung kondisi dan kendala yang dihadapi rumah sakit. Tujuannya agar pelayanan kesehatan lebih baik dan tidak melulu membahas keuangan,” pungkasnya.

Dr. Beny berharap BPJS Kesehatan dapat mengubah pendekatannya agar lebih pro-rakyat. Kebijakan yang mengutamakan kesehatan masyarakat, khususnya bagi mereka yang kurang mampu, dinilai menjadi prioritas yang harus dipegang teguh.

Ruang.co.id akan terus memantau perkembangan terkait kebijakan BPJS dan dampaknya terhadap pelayanan kesehatan di Indonesia.