Ruang.co.id – Industri perhotelan Indonesia sedang menghadapi tantangan besar akibat kebijakan efisiensi anggaran yang diberlakukan oleh pemerintah. Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, memperingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi menghilangkan pendapatan sebesar Rp24,5 triliun dari sektor perhotelan. Dampaknya sudah mulai dirasakan di hotel-hotel berbintang, terutama hotel bintang 3, bintang 4, dan bintang 5, yang selama ini sangat mengandalkan sektor pemerintah sebagai salah satu pasar utama mereka.
“Jika kebijakan ini berlanjut, kami mengestimasi bahwa pendapatan sektor perhotelan akan hilang sekitar Rp24,5 triliun untuk seluruhnya, dari hotel-hotel bintang 3, 4, dan 5,” ujar Hariyadi dalam konferensi pers Musyawarah Nasional (Munas) XVIII PHRI 2025.
Dampak Pemangkasan Anggaran Terhadap Industri Perhotelan
Efisiensi anggaran yang diberlakukan oleh pemerintah berdampak langsung pada sektor perhotelan. Sebagai contoh, sektor MICE (meetings, incentives, conferences, and exhibitions), yang merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi banyak hotel berbintang, mengalami penurunan yang tajam. Selama ini, sektor pemerintah menjadi salah satu penyewa utama ruang pertemuan dan penyelenggara acara di hotel-hotel tersebut.
Hariyadi menambahkan, kurangnya pemesanan dari kalangan pemerintah untuk acara seperti konferensi atau pertemuan sudah sangat terasa. Sehingga, pendapatan yang biasanya berasal dari acara-acara ini mengalami penurunan yang signifikan.
Selain di tingkat nasional, penurunan okupansi hotel juga terlihat di beberapa daerah. Di Kabupaten Cirebon, misalnya, Hotel Aston dan Hotel Patra, dua hotel besar di daerah tersebut, mengalami penurunan signifikan dalam tingkat hunian mereka. Hotel Aston mencatatkan penurunan okupansi sebesar 33,04% sepanjang 2024, sementara Hotel Patra mengalami penurunan 6,12%.
Penurunan okupansi ini juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah daerah yang melarang penyelenggaraan acara seremonial di hotel-hotel tersebut. Sektor MICE yang merupakan salah satu tulang punggung pendapatan hotel berbintang sangat terhambat dengan kebijakan tersebut.
Daya Beli Masyarakat dan Persaingan dengan Penginapan Non-Hotel
Di samping kebijakan efisiensi anggaran, daya beli masyarakat yang masih lemah juga turut memperburuk kondisi industri perhotelan. Banyak wisatawan kini beralih memilih penginapan non-hotel seperti guest house dan apartemen sewa, yang menawarkan harga lebih terjangkau.
Ketua PHRI Kabupaten Cirebon, Ida Khartika, mengungkapkan bahwa daya beli masyarakat yang tertekan ditambah persaingan dengan penginapan non-hotel semakin memperburuk kondisi industri perhotelan.
Pemangkasan Anggaran dan Potensi PHK Massal
Tidak hanya sektor pendapatan, kebijakan efisiensi anggaran ini juga berisiko menyebabkan PHK massal di industri perhotelan. Rizki Handayani Mustafa, Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenpar, mengungkapkan bahwa pemangkasan anggaran di sejumlah kementerian dan lembaga negara, termasuk di Kemenpar, akan berdampak pada sektor perhotelan.
“Pemangkasan anggaran ini sangat berisiko bagi industri pariwisata dan perhotelan. Kami berharap seluruh asosiasi dan pihak terkait dapat memberikan dukungan agar industri pariwisata tetap berkembang,” ujar Rizki.
Tantangan Berat untuk Sektor Perhotelan Indonesia
Dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran pemerintah, sektor perhotelan Indonesia menghadapi tantangan berat. Hotel bintang 3 hingga bintang 5 yang selama ini mengandalkan sektor pemerintah sebagai klien utama diperkirakan akan kehilangan pendapatan yang sangat besar. Ditambah lagi, dengan adanya persaingan ketat dari penginapan non-hotel dan daya beli masyarakat yang melemah, industri perhotelan membutuhkan strategi yang tepat untuk bertahan dan bangkit dari krisis ini.
Untuk itu, diperlukan upaya bersama dari pemerintah dan industri perhotelan untuk mencari solusi agar sektor ini tetap dapat berkembang di tengah tantangan yang ada.