Gengsi atau Butuh? Ledakan Tren Sewa iPhone Jelang Lebaran Bikin Psikiater Khawatir!

Tren sewa iPhone
Ilustrasi berbagai macam Iphone. Foto: @IG_renanstore
Ruang Sely
Ruang Sely
Print PDF

Ruang.co.id – Dalam beberapa pekan terakhir, permintaan penyewaan iPhone di Indonesia melonjak drastis, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Fenomena ini bukan sekadar tren pasar, melainkan cerminan kompleksitas psikologis masyarakat modern yang terjebak antara kebutuhan riil dan tekanan sosial. Menurut data dari penyedia jasa sewa gadget, lonjakan permintaan bisa mencapai 300% saat mendekati hari raya seperti Lebaran.

Psikiater Leonardo Lalenoh menjelaskan bahwa fenomena ini terkait erat dengan teori pembelajaran sosial Albert Bandura, di mana individu cenderung meniru perilaku lingkungannya untuk mendapatkan pengakuan. “Lebaran menjadi momen krusial dimana orang ingin menunjukkan upgrade status sosial, meski secara finansial belum siap,” ujarnya.

Di balik gempita tren ini, tersembunyi motivasi psikologis yang dalam. Bagi sebagian kalangan, terutama perantau yang pulang kampung, iPhone bukan sekadar gadget—melainkan simbol kesuksesan. Media sosial memperparah tekanan ini. Ketika melihat teman atau kerabat pamer iPhone terbaru di Instagram atau TikTok, muncul fear of missing out (FOMO) yang mendorong orang untuk ikut-ikutan, meski harus merogoh kocek dalam-dalam.

Tak sedikit penyewa yang mengaku merasa “terpaksa” mengikuti tren ini. “Kalau pulang kampung bawa HP biasa, rasanya seperti tidak berkembang,” tutur Andi, seorang perantau asal Bandung yang menyewa iPhone 15 Pro Max seharga Rp800 ribu per hari. Padahal, jika diakumulasi, biaya sewa selama dua minggu bisa setara dengan uang muka pembelian unit bekas.

Leonardo Lalenoh memperingatkan bahwa kebiasaan ini bisa memicu gangguan kecemasan sosial dan masalah finansial jangka panjang. “Ketika seseorang terus-menerus memaksakan diri mengikuti standar orang lain, lama-kelamaan ia kehilangan identitas diri yang sebenarnya,” jelasnya.

Selain itu, ada efek domino yang jarang disadari. Misalnya, seseorang yang awalnya hanya ingin menyewa iPhone untuk Lebaran, akhirnya terbiasa hidup dengan gaya konsumtif. “Ini bisa menjadi pintu masuk ke hutang tak terkendali,” tambah Leo.

Baca Juga  Logitech Buka Toko Resmi di Surabaya Destinasi Baru untuk Pengalaman Gaming dan Teknologi Canggih

Pertama, kenali motivasi diri. Apakah Anda benar-benar membutuhkan iPhone, atau sekadar ingin terlihat “wah” di depan keluarga? Kedua, hitung ulang biaya sewa vs kepuasan psikologis. Jika biaya sewa dua minggu hampir menyamai cicilan bulanan, mungkin lebih baik menabung untuk membeli unit bekas.

Terakhir, kurangi paparan media sosial yang memicu rasa tidak percaya diri. “Banyak orang terjebak dalam ilusi kesempurnaan di media sosial, padahal realitanya berbeda,” pungkas Leo.

Tren sewa iPhone hanyalah satu dari banyak gejala konsumerisme modern. Daripada terjebak dalam siklus gengsi, mungkin ini saatnya kita mempertanyakan: Benarkah kebahagiaan diukur dari merk gadget? Bagaimana pendapat Anda? Share pengalaman di kolom komentar!