Ruang.co.id – Setiap Idulfitri, ketupat hadir sebagai hidangan wajib yang menyatukan keluarga. Namun, di balik anyaman daun kelapanya tersimpan kisah panjang akulturasi budaya dan spiritualitas Islam. Makanan ini bukan sekadar pelengkap opor atau rendang, melainkan warisan Sunan Kalijaga yang penuh makna.
Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, mengenalkan ketupat sebagai media dakwah kreatif. Dalam buku “Akulturasi Islam dalam Kenduri Ketupat”, Nasution M.S.A menjelaskan bagaimana ketupat menjadi simbol rekonsiliasi. Filosofi ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan laku papat (lebaran, luberan, leburan, laburan) melekat erat pada hidangan ini.
Jejak Sejarah: Dari Ritual Pra-Islam Hingga Penyebaran Agama
Sebelum Islam masuk, masyarakat Jawa dan Melayu sudah mengenal ketupat sebagai bagian ritual agrarian. Sunan Kalijaga memadukan tradisi lokal ini dengan nilai-nilai Islam, menciptakan simbol baru yang mudah diterima. Anyaman ketupat yang rumit menggambarkan kompleksitas kesalahan manusia, sementara warna putihnya melambangkan kesucian setelah bulan Ramadhan.
Penyebaran ketupat sebagai makanan Lebaran tidak lepas dari peran para pedagang di pesisir utara Jawa. Mereka membawa tradisi ini ke berbagai daerah, menciptakan variasi lokal yang unik. Di Betawi, ketupat disajikan dengan kuah santan dan semur, sementara di Sumatra, ketupat sayur Padang hadir dengan cita rasa rempah yang lebih kuat.
Varian Ketupat di Nusantara: Cita Rasa yang Mencerminkan Keragaman
Di Jakarta, ketupat sayur Betawi menjadi sajian ikonik dengan kuah santan gurih berisi labu siam dan kacang panjang. Hidangan ini sering dipadukan dengan opor ayam atau semur daging, menciptakan harmoni rasa yang khas.
Sementara itu, masyarakat Minangkabau mengolah ketupat dengan bumbu lebih pedas. Ketupat sayur Padang biasanya disantap bersama gulai nangka atau rendang, mencerminkan kekayaan rempah Sumatera Barat. Di Banten, ketupat memiliki aroma lebih harum karena menggunakan daun kelapa muda, dan disajikan dengan sambal kacang yang gurih.
Filosofi yang Terkandung dalam Setiap Anyaman
Bentuk ketupat yang segi empat menyimbolkan empat nafsu manusia: amarah, loba, serakah, dan dengki. Anyamannya yang rapat mengajarkan bahwa kesalahan harus “dibuka” dengan permintaan maaf. Proses merebus ketupat yang lama juga dianggap sebagai metafora penyucian diri setelah sebulan berpuasa.
Tradisi membagikan ketupat kepada tetangga dan keluarga mencerminkan nilai luberan (berbagi rezeki) dan leburan (melebur dosa). Inilah mengapa ketupat tetap relevan hingga kini, bukan sekadar sebagai makanan, melainkan sebagai simbol kebersamaan.
Ketupat di Era Modern: Antara Tradisi dan Praktisitas
Meski kini banyak tersedia ketupat instan dalam kemasan plastik, banyak keluarga tetap mempertahankan cara tradisional. Membuat anyaman dari daun kelapa dianggap sebagai bentuk pelestarian budaya. Beberapa komunitas bahkan mengadakan workshop menganyam ketupat untuk generasi muda, agar filosofinya tidak punah dit zaman modern.
Di media sosial, ketupat juga menjadi tren dengan berbagai kreasi penyajian. Mulai dari ketupat rainbow hingga ketupat mini untuk hidangan kekinian. Namun, esensinya tetap sama: sebagai pengingat untuk saling memaafkan dan merayakan kemenangan setelah Ramadhan.
Pertanyaan yang Sering Muncul Tentang Ketupat
Banyak yang penasaran mengapa ketupat harus dibungkus anyaman daun kelapa. Jawabannya terletak pada filosofi Jawa tentang kesabaran dan ketelitian. Proses menganyam melambangkan upaya manusia untuk memperbaiki diri.
Ada juga yang bertanya apakah ketupat bisa bertahan lama. Karena dimasak dalam waktu lama, ketupat tradisional bisa tahan 2-3 hari dalam suhu ruang. Namun, ketupat instan biasanya lebih cepat basi karena proses pembuatannya berbeda.
Ketupat Sebagai Warisan Budaya yang Abadi
Dari masa Sunan Kalijaga hingga kini, ketupat tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari Lebaran. Ia bukan sekadar hidangan, melainkan cerminan nilai-nilai luhur: permohonan maaf, kebersamaan, dan rasa syukur.
Bagaimana dengan Anda? Masihkah membuat ketupat dengan anyaman daun kelapa, atau sudah beralih ke versi praktis? Apapun pilihannya, yang terpenting adalah makna di balik setiap santapan Idulfitri ini.