Ruang.co.id – Percayakah Anda bahwa di era digital ini, ratusan siswa Jawa Timur justru menjadi “tawanan” sekolahnya sendiri? Data Komnas Pendidikan mengungkap fakta miris: 412 ijazah masih dikunci rapat di lemari administrasi 37 sekolah se-Jatim, dengan alasan klasik tunggakan SPP 1,5-8 juta per siswa. Padahal, dokumen negara ini adalah gerbang masa depan mereka.
Arderio Hukom, Ketua SAPMA PP Jatim, dalam wawancara eksklusif dengan ruang.co.id menyebut praktik ini sebagai “kriminalisasi kemiskinan berkedok administrasi”. Faktanya, 68% kasus terjadi di sekolah vokasi dengan orang tua berlatar buruh harian. Sungguh ironis, institusi yang seharusnya membebaskan justru membelenggu.
Dampak psikologis penahanan ijazah sering kali luput dari perhatian. Sebuah studi Lembaga Psikologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya menemukan, 72% korban mengalami gejala kecemasan akut, bahkan 3 kasus sampai mengarah pada percobaan bunuh diri. Ini bukan sekadar persoalan dokumen, melainkan pelanggaran HAM berbasis ekonomi.
Dari sisi hukum, Pasal 335 KUHP tentang penganiayaan psikis bisa menjerat oknum sekolah. Yang lebih mengkhawatirkan, pola ini sering berujung pada pungutan liar terselubung. Seorang whistleblower dari internal sekolah di Sidoarjo mengaku, ada kepala sekolah yang mematok “biaya administrasi tambahan” Rp500 ribu untuk percepat pencairan ijazah.
Persoalan sebenarnya terletak pada sistem pendanaan sekolah yang amburadul. Audit Dinas Pendidikan Jatim 2023 menunjukkan, 41% sekolah negeri masih menjadikan SPP sebagai sumber utama operasional, bukan hanya tambahan. Padahal, Permendikbud No.14/2018 dengan tegas menyatakan ijazah harus diberikan tanpa syarat apapun.
Di balik itu, ada problem akuntabilitas keuangan. Laporan Keuangan 5 sekolah yang menjadi sorotan Komnas HAM justru menunjukkan adanya dana BOS yang mengendap tanpa alasan jelas. Artinya, penahanan ijazah lebih disebabkan kesalahan manajemen sekolah, bukan ketidakmampuan siswa.
Gerakan #IjazahBukanSandera yang digagas SAPMA PP mulai menunjukkan hasil. Dalam 3 bulan terakhir, 107 ijazah berhasil dibebaskan melalui pendekatan trias politika pendidikan:
Pertama, aspek legal dengan menggandeng Ombudsman RI membuka posko pengaduan khusus. Kedua, aspek ekonomi melalui kerja sama dengan pegadaian syariah untuk pinjaman lunak pelunasan tunggakan. Ketiga, aspek kultural dengan kampanye media sosial yang menyasar perubahan mindset aparat sekolah.
Untuk memastikan perubahan berkelanjutan, diperlukan intervensi multidimensi. Di level makro, DPRD Jatim sedang menggodok Raperda tentang Perlindungan Hak Pendidikan yang akan mempidanakan penahanan ijazah. Sementara di tataran mikro, SAPMA PP meluncurkan program “Sekolah Tanpa Rantai” dengan sistem rating transparansi administrasi.
Yang paling penting adalah membangun mekanisme preventif. Melalui kolaborasi dengan platform teknologi lokal, sedang dikembangkan sistem blockchain untuk distribusi ijazah digital yang tidak bisa dimanipulasi pihak sekolah. Terobosan ini diharapkan bisa menjadi solusi jangka panjang.