Ruang.co.id – Kementerian Kesehatan membuat terobosan baru dengan mengizinkan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) untuk membuka praktik sebagai dokter umum selama masa pendidikan. Kebijakan yang diumumkan langsung oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin ini dinilai sebagai solusi cerdas untuk masalah klasik yang selama ini membelit calon dokter spesialis di Indonesia.
Dilema Finansial yang Melatarbelakangi Kebijakan
Selama bertahun-tahun, peserta PPDS kerap terjebak dalam dilema finansial yang pelik. Di satu sisi, mereka harus membayar biaya pendidikan yang tidak murah, sementara di sisi lain tidak memiliki sumber penghasilan tetap selama masa pendidikan yang bisa mencapai 4-6 tahun. “Ini seperti meminta seseorang berlari marathon tanpa memberi mereka minum,” ujar seorang PPDS yang enggan disebutkan namanya.
Dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, kini Surat Tanda Registrasi (STR) dokter umum mereka tetap aktif selama menempuh pendidikan spesialis. Perubahan regulasi ini membuka peluang kerja yang lebih luas di berbagai fasilitas kesehatan primer, mulai dari klinik swasta hingga puskesmas di daerah terpencil.
Mekanisme dan Batasan Praktik Klinis
Meski mendapatkan angin segar, kebijakan ini tidak berarti memberikan kebebasan mutlak. Program studi dan rumah sakit pendidikan tetap memiliki kewenangan penuh untuk mengatur jam praktik mahasiswa. Sebagai contoh, seorang PPDS bidang orthopedi mungkin hanya diizinkan praktik umum maksimal 3 kali seminggu di luar jam pendidikan.
Yang menarik, beberapa rumah sakit pendidikan unggulan seperti RSCM Jakarta dan RS Dr. Sardjito Yogyakarta telah menyiapkan skema khusus. Mereka membuat sistem shift khusus yang memungkinkan PPDS praktik tanpa mengganggu jadwal akademik dan pelayanan di rumah sakit pendidikan.
Dampak Jangka Panjang bagi Sistem Kesehatan
Para pakar kesehatan masyarakat memprediksi kebijakan ini akan membawa dampak berantai yang positif. Pertama, dari sisi distribusi dokter, kebijakan ini mungkin menjadi solusi untuk mengatasi kekurangan dokter di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Kedua, dari aspek pengalaman klinis, PPDS akan mendapatkan jam terbang lebih banyak sebelum benar-benar menjadi spesialis.
Namun, beberapa kalangan masih menyimpan kekhawatiran. Dr. Nurul Ratna, Ketua IDI Cabang Jakarta Selatan, mengingatkan pentingnya menjaga kualitas pendidikan. “Kami mendukung kebijakan ini asalkan tidak mengorbankan kompetensi akademik. Jangan sampai niat baik malah menghasilkan dokter spesialis yang setengah matang,” tegasnya dalam sebuah diskusi kesehatan terbatas.
Kebijakan Kemenkes ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi menjadi solusi finansial bagi PPDS, di sisi lain membutuhkan pengawasan ketat untuk menjaga kualitas. Yang jelas, langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam reformasi sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia.
Proyeksi Ke Depan:
Dalam 5 tahun mendatang, kebijakan ini mungkin akan berkembang menjadi sistem residensi berbayar seperti di beberapa negara maju. Saat ini, Kemenkes sedang mempelajari model teaching hospital ala Amerika Serikat dimana residen mendapatkan gaji layak selama pendidikan.