Ruang.co.id – Di tengah hiruk-pikuk dunia modern, Kamis Putih hadir sebagai momen hening yang menyimpan ribuan tahun sejarah, simbol, dan pesan revolusioner. Hari ini bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan undangan untuk merefleksikan arti kepemimpinan sejati: melayani dengan rendah hati.
Akarnya Terkubur dalam Sejarah Abad ke-4
Konsili Hippo pada tahun 393 Masehi menjadi titik balik yang mengukuhkan Kamis Putih sebagai gerbang menuju Tri Hari Suci. Saat itu, gereja awal menyadari bahwa Paskah tak bisa hanya dirayakan dalam satu hari. Perlu sebuah perjalanan spiritual melalui Rabu Abu, Minggu Palma, hingga puncaknya di Kebangkitan.
Yang membuat Kamis Putih istimewa adalah perannya sebagai malam terakhir Yesus sebelum penangkapan. Di malam inilah Ia melakukan dua hal yang menggetarkan: membasuh kaki murid-murid-Nya dan memulai tradisi Ekaristi. Keduanya bukan sekadar ritual, melainkan manifestasi cinta yang radikal.
Pembasuhan Kaki: Simbol yang Mengguncang Hierarki
Bayangkan suasana pada abad pertama di Yerusalem. Membasuh kaki adalah tugas hamba atau budak, bukan seorang guru yang dihormati. Ketika Yesus mengambil kain dan membasuh kaki kedua belas murid-Nya—termasuk Yudas yang akan mengkhianati-Nya—Ia sedang menulis ulang definisi kekuasaan.
Inilah kunci semantik yang sering terlewat: pembasuhan kaki bukan tentang kesucian fisik, melainkan pembersihan hati. Yesus menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati dimulai dari kesediaan “turun ke bawah”. Pesan ini relevan hingga kini, terutama di tengah budaya yang sering mengagungkan jabatan dan status.
Perjamuan Terakhir: Makanan yang Menjadi Pengorbanan
Saat Yesus memecahkan roti dan berkata, “Inilah tubuh-Ku,” Ia tak hanya menciptakan ritual keagamaan. Ia sedang mengajarkan bahwa kasih sejati berarti berbagi diri seutuhnya. Ekaristi dalam Misa Kamis Putih adalah pengulangan dari momen itu—sebuah perjanjian baru yang mengubah roti dan anggur menjadi simbol persatuan ilahi.
Uniknya, gereja Katolik mempertahankan tata cara khusus pada malam ini. Sakramen Mahakudus dipindahkan ke “altar reposisi” setelah misa, menciptakan ruang hening untuk merenung. Tradisi ini mengingatkan kita pada kesendirian Yesus di Taman Getsemani, di mana Ia berdoa dalam kesepian sebelum ditangkap.
Mengapa Kamis Putih Masih Relevan di 2024?
Di era di mana individualisme dan kekuasaan sering jadi prioritas, Kamis Putih menawarkan paradigma berbeda. Ritual pembasuhan kaki mengajarkan bahwa pelayanan tanpa pamrih adalah fondasi hidup bermakna. Sementara Ekaristi mengingatkan kita bahwa berbagi—bukan menimbun—adalah jalan menuju kebahagiaan sejati.
Bagi umat Katolik, Kamis Putih juga menjadi momen untuk membersihkan “kaki batin”: memaafkan yang menyakiti, merendahkan hati, dan berani melayani tanpa mengharap imbalan. Pesan ini universal, melampaui batas agama.