Ruang.co.id – Fenomena cuaca yang tak biasa tengah membingungkan warga Jawa Timur. Meski secara resmi telah memasuki musim kemarau, wilayah ini masih terus diguyur hujan deras, lengkap dengan petir dan angin kencang. Situasi ini membuat masyarakat bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dengan cuaca tahun ini?
Menurut prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), musim kemarau tahun 2025 diperkirakan berlangsung dari Mei hingga Agustus, dengan puncaknya terjadi pada Juni sampai Agustus di sebagian besar wilayah Indonesia.
Namun, realita di lapangan justru menunjukkan cuaca yang bertolak belakang, khususnya di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah, yang masih basah oleh hujan deras hingga pertengahan Mei.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG menjelaskan bahwa peralihan musim tidak selalu terjadi secara serempak di seluruh Indonesia. Dari 403 zona musim (ZOM) di Tanah Air, sebagian memang baru akan benar-benar kering dalam beberapa pekan mendatang.
Lebih jauh, BMKG menegaskan bahwa cuaca ekstrem ini bukan akibat dari fenomena El Niño maupun La Niña. Artinya, tidak ada gangguan besar dari Samudra Pasifik maupun Hindia yang memengaruhi pola cuaca saat ini.
Penyebab utama hujan di musim kemarau kali ini adalah dinamika atmosfer yang sangat kompleks dan cepat berubah. Perubahan arah angin, suhu muka laut yang masih hangat, serta terbentuknya awan konvektif menjadi faktor pemicu hujan lokal, meskipun secara umum wilayah tersebut sedang berada di masa kemarau.
Bahkan Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menekankan pentingnya masyarakat untuk tidak hanya bergantung pada prediksi musim. Ia mengimbau agar warga selalu mengikuti pembaruan cuaca harian, karena prediksi jangka panjang bisa berubah seiring perkembangan atmosfer.
Uniknya, musim kemarau tahun ini diperkirakan lebih pendek dari biasanya, hanya berlangsung penuh di sekitar 43% wilayah Indonesia. Meski begitu, risiko seperti kekeringan dan kebakaran hutan tetap perlu diwaspadai. BMKG meminta masyarakat dan pemerintah daerah tetap siaga menghadapi potensi bahaya yang muncul.
Fenomena ini menjadi pengingat penting bahwa cuaca tak selalu bisa ditebak secara sederhana. Edukasi publik dan kesadaran akan dinamika iklim perlu terus ditingkatkan agar masyarakat bisa lebih siap menghadapi ketidakpastian alam.

