Tubuhmu Berekasi Lebih Cepat dari Pikiran: Rahasia Ilmiah di Balik Refleks Teriak Saat Kaget

Teriak Saat Kaget
Teriak saat kaget ternyata warisan evolusi manusia. Ilustrasi Foto: Freepik
Ruang Ilham
Ruang Ilham
Print PDF

Ruang.co.id – Ketika kaki tanpa sengaja menginjak benda tajam atau seekor cicak tiba-tiba jatuh di bahu, suara teriakan yang keluar bukanlah sekadar reaksi spontan tanpa makna—melainkan sistem pertahanan tingkat lanjut yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita melalui proses evolusi yang panjang. Reaksi ini, yang sering dianggap sebagai respons emosional belaka, ternyata merupakan mekanisme survival kompleks yang melibatkan jaringan saraf, hormon, dan bahkan fungsi sosial manusia.

Pemicu Utama: Bagaimana Tubuh Memproses Kejutan dengan Kecepatan Luar Biasa?

Dalam hitungan milidetik setelah menerima stimulus mengancam, thalamus—stasiun pemancar utama otak—langsung mengirimkan sinyal darurat ke amygdala. Bagian kecil berbentuk kacang ini tidak hanya berperan sebagai pusat emosi, tetapi juga berfungsi sebagai detektor ancaman instan yang bekerja jauh lebih cepat daripada korteks prefrontal, bagian otak yang bertanggung jawab atas pemikiran rasional. Proses inilah yang menjelaskan mengapa manusia seringkali teriak sebelum benar-benar menyadari apa yang terjadi.

Penelitian dari Harvard Medical School memperkuat fakta ini dengan mengungkapkan bahwa 95% manusia menunjukkan respons vokal saat kaget. Variasi intensitas teriakan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk sensitivitas individu terhadap ancaman dan pengalaman traumatis masa lalu yang tersimpan dalam memori amygdala. Artinya, seseorang yang pernah mengalami trauma terkait benda tajam mungkin akan bereaksi lebih keras dibandingkan orang lain dalam situasi serupa.

Baca Juga  10 Mitos Menstruasi yang Masih Dipercaya, Padahal Fakta Medisnya Mengejutkan!

Efek Domino Fisiologis: Dari Lonjakan Adrenalin Hingga Ketegangan Otot yang Instan

Aktivasi sistem saraf simpatik tidak hanya memicu teriakan, tetapi juga menginisiasi rangkaian perubahan fisik dramatis yang bertujuan mempersiapkan tubuh menghadapi bahaya. Pupil mata membesar secara tiba-tiba untuk memperluas jangkauan pandangan, sementara otot-otot rangka menegang sebagai persiapan untuk gerakan eksplosif—entah itu melompat, menghindar, atau bersiap berlari.

Pada saat yang sama, kelenjar adrenal membanjiri aliran darah dengan hormon stres seperti adrenalin dan kortisol, yang memberikan ledakan energi instan. Kombinasi ketegangan otot dan lonjakan hormon inilah yang kemudian menghasilkan suara keras spontan. Teriakan tersebut bukan sekadar ekspresi ketakutan, melainkan mekanisme pelepasan energi darurat yang membantu tubuh beralih ke mode siaga maksimal.

Baca Juga  Rahasia Daftar BPJS Kesehatan Online dalam 5 Menit Pakai Aplikasi JKN

Dimensi Sosial: Teriakan sebagai Bahasa Universal Bahaya yang Menyatukan Komunitas

Selain manfaat individual, teriakan ternyata memiliki nilai komunikasi yang sangat penting dalam konteks evolusi manusia. Studi antropologi menunjukkan bahwa suara bernada tinggi dengan frekuensi tidak teratur—seperti jeritan kaget—diproses oleh otak tiga kali lebih cepat dibandingkan ucapan normal. Hal ini menjelaskan mengapa teriakan “Awas!” atau tangisan bayi mampu memicu respons kolektif dalam waktu seketika.

Dalam masyarakat purba, kemampuan untuk mengirim dan menerima sinyal bahaya dengan cepat adalah kunci bertahan hidup kelompok. Seseorang yang berteriak saat melihat predator tidak hanya menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi juga memberi peringatan kepada anggota kelompok lainnya. Dengan demikian, teriakan kaget bukan sekadar refleks, melainkan alat komunikasi primitif yang telah teruji oleh waktu.

Baca Juga  Fotodermatitis Mengintai! Waspadai Kulit 'Alergi' Matahari yang Lebih Berbahaya dari Sunburn

Mitigasi Modern: Menyeimbangkan Refleks Purba di Lingkungan Perkotaan yang Serba Terkendali

Meskipun bermanfaat, refleks ini bisa menjadi kurang adaptif di lingkungan modern yang relatif aman. Teriakan kaget di tengah rapat atau di ruang publik seringkali dianggap mengganggu. Beberapa teknik seperti latihan pernapasan diafragma dan grounding telah terbukti membantu mengurangi intensitas reaksi, namun para ahli tetap menekankan bahwa menekan teriakan sepenuhnya justru berisiko.

Tubuh membutuhkan saluran pelepasan stres akut, dan teriakan adalah salah satu mekanisme alami yang dirancang untuk itu. Daripada berusaha menghilangkannya, memahami fungsi biologis dan sosial di balik teriakan kaget justru membantu kita menghargai kompleksitas sistem pertahanan tubuh manusia—sebuah warisan evolusi yang tetap relevan hingga hari ini.

Ya. Penelitian Universitas New York membuktikan teriakan >85 desibel lebih efektif memicu respons penyelamatan.

Ini terkait varian gen COMT yang mempengaruhi metabolisme dopamin di amygdala.