Ruang.co.id ā Suara riuh rendah diskusi memenuhi Sekretariat Pemuda Garam Madura (PAGAMA) Kabupaten Sampang saat puluhan tokoh pemuda, akademisi, dan pelaku ekonomi setempat bersatu mendeklarasikan dukungan penuh terhadap Perpres Nomor 17 Tahun 2025. Deklarasi bersejarah ini menjadi penanda dimulainya babak baru dalam upaya percepatan swasembada garam nasional yang ditargetkan tercapai pada 2027 mendatang. Kamis, (31/7/2025).
Aziz, ketua PAGAMA Sampang yang karismatik, dengan semangat menyampaikan bahwa momentum ini merupakan titik balik bagi petambak garam tradisional di pesisir Madura. “Kami yakin target swasembada bukan sekadar wacana, tapi bisa menjadi kenyataan jika semua pihak bergerak bersama,” ujarnya dengan mata berbinar. Namun dibalik optimisme tersebut, ia tak menampik berbagai rintangan berat yang harus dihadapi, terutama dari sisi alam dan teknologi produksi yang masih tertinggal.
Produksi garam di gugusan pulau Madura yang mengandalkan metode tradisional ternyata menyimpan masalah kronis yang sudah puluhan tahun belum terpecahkan. Ketergantungan pada terik matahari sebagai satu-satunya metode evaporasi membuat produktivitas garam nasional menjadi sandera cuaca. Data terbaru Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkap fakta mencengangkan: saat kebutuhan garam nasional melonjak ke angka 4,9 juta ton di tahun 2025, produksi dalam negeri hanya mampu menyediakan kurang dari setengahnya.
Musim hujan yang semakin tidak menambah panjang daftar persoalan. Kabar buruknya, sebagai negara tropis dengan curah hujan tinggi, Indonesia sulit menghindari kenyataan pahit ini. “Kami sering hanya bisa pasrah ketika musim penghujan datang lebih awal,” keluh Aziz sambil mengenang musim produksi yang gagal tahun sebelumnya. Tidak hanya cuaca, keterbatasan lahan tambak garam yang semakin menyempit akibat alih fungsi lahan turut memperparah keadaan.
Di tengah keputusasaan, secercah harapan muncul dari perkembangan teknologi pengolahan garam modern. Aziz dengan antusias menjelaskan potensi besar teknologi desalinasi yang mampu menghasilkan garam berkualitas tinggi tanpa tergantung pada cuaca. “Dengan sistem tertutup, kami bisa memproduksi sepanjang tahun,” ujarnya penuh keyakinan. Namun wajahnya kembali berkerut ketika menyentuh masalah biaya investasi yang masih terlalu berat untuk kantong petambak kecil.
Solusi kreatif pun mengemuka. Pemanfaatan rejected brine atau air limbah PLTU yang selama ini terbuang percuma menjadi gagasan brilian. Perhitungan kasar menunjukkan potensi 1,8 juta ton garam bisa dihasilkan dari sumber terabaikan ini. “Ini bisa menutup 40% kebutuhan impor kita,” tegas Aziz dengan logika yang sulit terbantahkan. KKP sendiri telah merespon positif berbagai inovasi ini dengan memetakan lokasi-lokasi strategis untuk pengembangan produksi garam nasional.
Persoalan klasik harga kembali menghantui. Fakta pahit menunjukkan harga garam impor yang jauh lebih murah telah mematikan pasar garam lokal. “Petambak kita terjepit,” ujar Aziz dengan nada prihatin. Ironisnya, industri besar seperti petrokimia dan farmasi justru lebih memilih garam impor karena alasan kualitas dan kontinuitas pasokan.
Di sinilah peran pemerintah dinilai krusial. Kebijakan protektif dan insentif teknologi menjadi harapan terakhir para petambak. “Kami butuh level playing field yang adil,” tekan Aziz. KKP telah berjanji akan secara bertahap mengurangi kuota impor garam konsumsi sebagai langkah awal menuju kemandirian.
Semangat muda PAGAMA Sampang menjadi energi positif dalam gerakan nasional ini. Mereka tidak hanya berpangku tangan, tetapi aktif menjembatani petambak tradisional dengan perkembangan teknologi terbaru. “Kami sedang merintis sekolah lapang untuk petambak,” ungkap Aziz tentang salah satu program konkret mereka.
Dukungan akademisi pun tidak kalah penting. Berbagai penelitian tentang peningkatan kualitas garam lokal terus digalakkan. Sinergi tiga pilar inilah yang diyakini akan membawa Indonesia keluar dari jerat impor garam. “2027 bukan akhir perjalanan, tapi awal dari kemandirian sejati,” tutup Aziz penuh keyakinan.

