Surabaya, Ruang.co.id – Keris, sebagai salah satu warisan budaya tak benda Indonesia, menjadi topik utama dalam diskusi publik bertajuk “Keris, Warisan Leluhur yang Tak Lekang oleh Zaman”. Acara yang digelar oleh Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disbudporapar) Surabaya ini berlangsung di lapangan Tugu Pahlawan Surabaya, menghadirkan sejumlah tokoh budaya dan sejarah sebagai pembicara.
Diskusi ini dihadiri oleh Basuki Teguh Yuwono, seorang Empu Keris dari Museum Brojobuwono Surakarta, Hidayat sebagai kolektor Keris asal Surabaya, serta Nanang Purwono, seorang pegiat sejarah dan budaya Kota Surabaya.
Keris: Lebih dari Sekadar Benda Fisik
Dalam paparannya, Basuki Teguh Yuwono mengungkapkan bahwa Keris adalah simbol budaya yang memuat nilai-nilai luhur bangsa. “Keris jangan dilihat hanya dari bentuk fisiknya, tetapi maknanya sebagai warisan budaya tak benda (intangible heritage). Keris mencerminkan keteguhan, kewibawaan, dan keragaman bangsa Indonesia,” ujar Basuki.
Ia juga menambahkan bahwa Keris harus mengikuti perkembangan zaman agar tetap relevan di masa kini dan mendatang. Menurutnya, meskipun era terus berubah, nilai-nilai dalam Keris tidak boleh hilang.
Pentingnya Peran Generasi Muda dan Pemerintah
Salah satu peserta diskusi dari komunitas Pasopati menyatakan perlunya keterlibatan pemerintah dalam mempromosikan Keris kepada generasi muda. Ia menilai bahwa kegiatan seperti pameran dan edukasi budaya perlu diperbanyak agar anak muda memahami pentingnya pelestarian Keris.
Basuki pun mengungkapkan harapannya terkait peran Kementerian Kebudayaan yang baru dibentuk. “Saya berharap kementerian ini bisa menangani isu-isu kebudayaan, termasuk pelestarian Keris, dengan lebih terarah,” ujarnya.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang juga Ketua Umum Sekretariat Nasional Keris Indonesia, sebelumnya menekankan pentingnya pameran, penerbitan buku, dan edukasi di dalam maupun luar negeri untuk mendukung pelestarian Keris.
Keris dan Jejaknya di Surabaya
Di Surabaya, Keris bukanlah hal baru. Hidayat menjelaskan bahwa sejarah mencatat keberadaan Empu pembuat Keris di beberapa kampung, seperti Ampel Gading dan Pandean. Informasi ini bahkan tercantum dalam serat kuno seperti Asmaradana dan Dandanggula.
Nanang Purwono menambahkan, simbolisasi Keris terlihat dalam sejarah perjuangan masyarakat Surabaya. Salah satu bukti nyata adalah patung Trip di Jalan Gunungsari, yang menggambarkan Keris sebagai senjata yang digunakan para pejuang.
Aksara Jawa: Tradisi Intektual yang Seiring Sejalan dengan Keris
Hidayat juga menggarisbawahi bahwa pelestarian Keris serupa dengan pelestarian Aksara Jawa. Menurutnya, aksara ini adalah bentuk tradisi intelektual yang digunakan para leluhur di Surabaya sejak abad ke-15 hingga ke-19. “Aksara Jawa layak dimasukkan dalam sejarah Kota Surabaya, bahkan menjadi bagian dari Museum Pendidikan,” katanya.
Peninggalan Baru untuk Museum Tugu Pahlawan
Diskusi ini juga mencatat momen bersejarah dengan penyerahan sebilah Keris dari keluarga Kanjeng Pangeran Adipati Aryo Karyonagoro Surakarta kepada Museum Tugu Pahlawan. Kepala Disbudporapar, Hidayat Syah, menerima hibah ini sebagai bagian dari upaya memperkaya koleksi museum dan mengedukasi masyarakat.
Keris bukan sekadar pusaka, tetapi juga simbol budaya yang memuat nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Diskusi publik ini menjadi langkah nyata untuk menghidupkan kembali warisan leluhur agar tetap relevan di tengah perubahan zaman. Kolaborasi antara pemerintah, komunitas budaya, dan generasi muda menjadi kunci utama pelestarian Keris sebagai warisan budaya tak benda.