Jerat Digital Mengancam Anak! KPAI Beberkan Gelombang Kekerasan Seksual Online yang Mencemaskan

kekerasan seksual anak di dunia digital
KPAI ungkap fakta mengejutkan, dunia digital jadi sarang baru kekerasan seksual anak. Foto Ilustrasi:@Freepik.com
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) baru-baru ini mengeluarkan peringatan keras tentang maraknya kasus kekerasan seksual anak di ruang digital. Komisioner KPAI, Dian Sasmita, menyatakan bahwa platform online telah menjadi sarang baru bagi predator anak, dengan modus operandi yang semakin sulit dilacak.

“Internet adalah pedang bermata dua. Di satu sisi membuka wawasan, di sisi lain menjadi jerat berbahaya bagi anak-anak yang belum paham risiko digital,” ujar Dian dalam konferensi pers, Jumat (18/4/2025).

Mengapa Ruang Digital Menjadi Sarang Empuk Predator?

Anonimitas yang ditawarkan dunia maya membuat predator leluasa menyamar sebagai teman sebaya. Mereka sering kali memanfaatkan platform game online dan aplikasi chat untuk mendekati korban. Proses grooming biasanya dimulai dengan pendekatan halus, seperti pujian atau hadiah virtual, sebelum berujung pada pemerasan atau eksploitasi.

Fenomena ini diperparah oleh kurangnya literasi digital di kalangan orang tua. Banyak keluarga yang belum memahami cara mengaktifkan fitur keamanan atau mengenali tanda-tanda cyber grooming. Di sisi lain, regulasi yang ada dinilai masih tertinggal, belum mampu menjangkau kompleksitas kejahatan digital.

Langkah Konkret untuk Melindungi Generasi Digital

Peran Keluarga: Garis Pertahanan Terdepan

Orang tua perlu mengambil peran aktif dalam pengawasan digital tanpa menciptakan rasa tertekan pada anak. Membangun komunikasi terbuka tentang aktivitas online adalah kunci. Penggunaan tools seperti Google Family Link atau Apple Screen Time bisa menjadi solusi praktis untuk memantau tanpa menginvasi privasi.

Edukasi Sejak Dini: Tanggung Jawab Sekolah

Sekolah harus memasukkan kurikulum keamanan digital dalam pelajaran. Anak-anak perlu diajarkan untuk mengenali batasan berinteraksi online, memahami konsep privasi, dan melapor jika merasa tidak nyaman. Guru juga perlu dilatih untuk mendeteksi gejala korban kekerasan online.

Regulasi dan Penegakan Hukum

Pemerintah didesak untuk memperbarui UU Perlindungan Anak agar mencakup kejahatan digital secara spesifik. Sanksi hukum perlu diperberat, termasuk untuk pelaku revenge porn dan cyber grooming. Selain itu, perlu dibentuk satgas khusus yang fokus menangani kasus kekerasan anak di dunia maya.

Kolaborasi Seluruh Pihak untuk Masa Depan Anak

Dian Sasmita menekankan bahwa masalah ini tidak bisa diselesaikan sendiri. Dibutuhkan sinergi antara orang tua, sekolah, pemerintah, dan platform digital. Sosialisasi fitur report abuse di media sosial harus lebih masif, sementara algoritma AI perlu ditingkatkan untuk mendeteksi konten eksploitasi lebih dini.

“Kita tidak boleh menunggu korban berjatuhan baru bertindak. Pencegahan dan edukasi harus jadi prioritas utama,” tegas Dian.