Mengenal Arti Kata “Bajingan”: Lebih dari Sekadar Makian

arti kata bajingan
Cari tahu asal usul kata "bajingan" yang ternyata lebih dari sekadar makian. Temukan kisahnya dari profesi kernet cikar hingga makna modernnya di sini.
Ruang redaksi
Print PDF

Surabaya, Ruang.co.id – Siapa yang tak pernah mendengar kata “bajingan”? Di kalangan masyarakat, khususnya di Jawa, kata ini sering terdengar baik sebagai makian ataupun dalam konteks historis tertentu. Meski begitu, tahukah kamu bahwa kata ini memiliki riwayat panjang dan makna yang berubah-ubah seiring waktu?

Mari kita gali lebih dalam, mulai dari akar sejarahnya hingga penggunaannya di zaman sekarang.

Sejarah Kata “Bajingan” Dari Bajing ke Bajingan

Asal mula kata “bajingan” dapat ditelusuri dari kata “bajing.” Bajing adalah nama hewan kecil mirip tupai yang sering ditemukan di kawasan pedesaan Jawa. Dalam konteks Jawa Kuno, bajing memiliki asosiasi yang netral, bahkan positif, karena hewan ini dianggap lincah dan cerdas. Namun, bagaimana bisa kata yang merujuk pada hewan ini berkembang menjadi istilah makian?

Jawabannya ada pada masa ketika alat transportasi utama di pedesaan adalah cikar glodak. Cikar glodak, gerobak kayu beroda besar yang ditarik sapi, menjadi alat transportasi barang paling populer sebelum adanya truk modern. Sopir dan kernet cikar ini sering disebut sebagai “mbajing,” merujuk pada profesi mereka yang identik dengan kesabaran menghadapi sapi yang berjalan lambat.

Namun, di jalanan yang sering penuh dengan cikar, kemacetan kerap terjadi. Kata “bajingan” pun mulai digunakan sebagai bentuk kekesalan terhadap pengemudi cikar yang dianggap lamban atau menghalangi jalan. Dari sinilah kata ini mulai mendapatkan makna negatif.

Makna “Bajingan” di Era Modern Sebagai Profesi

Di masa lalu, “bajingan” bukanlah kata makian. Ini merujuk pada profesi pengemudi atau kernet cikar glodak. Profesi ini membutuhkan keahlian khusus, mulai dari mengendalikan sapi hingga menjaga keamanan barang bawaan. Dengan berjalannya waktu, profesi ini pun memudar seiring berkembangnya teknologi transportasi.

Baca Juga  Panduan Ikuti Upacara Kasada Suku Tengger di Gunung Bromo : Sejarah, Prosesi, dan Tips Wisata
Sebagai Kata Makian

Pada era 1960-an hingga 1970-an, kata “bajingan” mulai populer sebagai makian dalam literatur. Novel-novel Indonesia dari masa itu, seperti karya-karya Pramoedya Ananta Toer, sering menggunakan kata ini untuk menggambarkan karakter yang dianggap tidak bermoral. Pada saat itu, makian “bajingan” tidak hanya menunjukkan keburukan seseorang, tetapi juga mengandung kritik sosial terhadap ketidakadilan atau perilaku buruk.

Saat ini, “bajingan” lebih sering digunakan sebagai makian universal. Dengan intonasi dan konteks yang berbeda, maknanya juga bisa beragam. Dalam lingkup informal, kata ini bahkan digunakan di antara teman-teman dekat sebagai bentuk lelucon atau ejekan ringan.

Perbandingan dengan Kata Makian Lain

Kata “bajingan” sering disandingkan dengan makian lain seperti “jancuk.” Kata “jancuk” yang berasal dari Jawa Timur memiliki perjalanan yang mirip, di mana maknanya telah bergeser dari makian kasar menjadi istilah gaul yang lumrah. Dalam pergaulan anak muda, kata ini bahkan dianggap sebagai ekspresi keakraban.

Demikian pula, “bajingan” telah menjadi bagian dari kosakata sehari-hari yang fleksibel, tergantung pada konteks dan siapa yang menggunakannya.

Mengapa Istilah Makian Berevolusi?

Setiap era memiliki tren bahasa yang mencerminkan budaya, kondisi sosial, dan perubahan teknologi. Di era 1980-an, istilah-istilah baru mulai menggantikan popularitas “bajingan”. Namun, seperti halnya mode yang berputar, istilah ini tetap eksis sebagai bagian dari warisan budaya bahasa.

Kata “bajingan” adalah contoh bagaimana bahasa terus berkembang seiring waktu. Dari sekadar istilah untuk profesi pengemudi cikar hingga menjadi makian yang serba guna, kata ini mencerminkan dinamika sosial dan budaya masyarakat Indonesia. Meski kini lebih sering digunakan sebagai makian, memahami asal-usulnya membantu kita melihat bahwa setiap kata memiliki cerita dan makna yang lebih dalam.

Baca Juga  Panduan Ikuti Upacara Kasada Suku Tengger di Gunung Bromo : Sejarah, Prosesi, dan Tips Wisata

Jadi, apakah kata “bajingan” hanya sekadar makian? Tidak juga. Ini adalah bagian dari sejarah kita yang menunjukkan bagaimana bahasa mampu merekam perjalanan waktu. Menarik, bukan?

Disclaimer : Artikel ini bersifat edukasi dan bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih dalam tentang asal usul dan makna kata “bajingan.” Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menjadi bahan mengolok-olok atau merendahkan siapa pun.