Ruang.co.id – Dalam dunia akting Indonesia, sedikit peran yang seberat Isa dalam Perang Kota—karakter yang memaksa Chicco Jerikho menggali palung emosi terdalam. “Ini seperti membedah luka lama yang belum pernah saya sentuh,” ujarnya dalam konferensi pers eksklusif di Epicentrum, Jakarta. Film besutan rumah produksi ternama ini tidak hanya mengeksplorasi perjuangan fisik melawan penjajah, tetapi juga pertarungan batin seorang lelaki yang kehilangan segalanya: harga diri, keluarga, bahkan kejantanan. Selasa, (22/4/2025).
Mengurai Benang Kusut Karakter Isa
Isa bukan pahlawan konvensional. Di balik wajahnya yang keras, tersimpan dendam masa kecil, kegagalan sebagai suami, dan impotensi yang menjadi metafora keterpasungan bangsa. Sutradara film ini sengaja membangun karakter multidimensi ini sebagai cermin masyarakat terjajah—secara fisik maupun mental. “Kami ingin penonton merasakan bahwa kemerdekaan bukan sekadar mengusir penjajah, tapi juga membebaskan diri dari belenggu psikologis,” papar Chicco.
Eksplorasi Tabu: Impotensi sebagai Simbol Ketidakberdayaan
Adegan paling menantang justru bukan adegan perang, melainkan momen ketika Isa gagal memenuhi kebutuhan istrinya. “Ini tentang kehilangan maskulinitas di tengah tuntutan menjadi ‘pejuang’,” jelas Chicco yang menghabiskan waktu berjam-jam dengan psikolog klinis untuk memahami dampak impotensi terhadap psike manusia.
Baca Juga
Transformasi Fisik & Emosional yang Ekstrem
Untuk mencapai autentisitas, tubuh Chicco mengalami perubahan drastis: turun 12 kg, wajah dibiarkan kusam, bahkan latihan bela diri ala gerilyawan 1940-an. “Tubuh harus ikut bercerita—bagaimana postur membungkuk saat trauma, atau tatapan kosong saat menghadapi kegagalan,” tuturnya. Proses ini didukung ensemble cast termasuk veteran seperti Tio Pakusadewo yang disebut Chicco sebagai “mentor tak terduga”.
Mengapa ‘Perang Kota’ Layak Dinantikan?
Berbeda dari film bertema revolusi lainnya, Perang Kota menyuguhkan narasi yang jarang diangkat: ketidakberdayaan di balik heroisme. Adegan-adegan intim justru menjadi klimaks tersendiri, seperti ketika Isa menangis di gubuk reyot setelah gagal mempertahankan keluarganya. “Kami tidak ingin menciptakan pahlawan sempurna, tapi manusia yang cacat dan tetap berjuang,” tegas produser film.