Bagaimana Media Sosial Mempengaruhi Duck Syndrome?

Brait rot. hubungan duck syndrome dan media soaial
Ilustrasi seseorang scroll hp (pexels)
Ruang NyaLa
Ruang NyaLa
Print PDF

Surabaya, Ruang.co.id – Media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari hampir semua orang. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter dipenuhi dengan potret kehidupan yang tampaknya sempurna. Tanpa disadari media sosial ini juga telah memunculkan fenomena duck syndrome.

Foto-foto liburan mewah, pencapaian karier, atau momen bahagia bersama keluarga sering kali menjadi sorotan. Namun, di balik itu semua, ada banyak hal yang tidak terlihat. Sama seperti bebek yang tampak meluncur mulus di atas air tetapi mendayung dengan susah payah di bawah permukaan, banyak orang yang merasa perlu menyembunyikan perjuangan mereka demi menjaga citra yang “sempurna” di media sosial.

Duck Syndrome adalah istilah yang semakin dikenal, terutama di kalangan generasi muda. Fenomena ini menggambarkan bagaimana seseorang tampak tenang dan baik-baik saja di permukaan, tetapi sebenarnya berjuang keras menghadapi tekanan dan stres di bawah permukaan. Menariknya, media sosial sering kali memperkuat fenomena ini. Jadi, apa sebenarnya hubungan antara Duck Syndrome dan media sosial?

Ketika seseorang melihat konten yang menampilkan kehidupan orang lain yang tampak ideal, perasaan membandingkan diri sendiri sering kali muncul. “Kenapa hidupku tidak seindah mereka?” atau “Apa yang salah dengan aku?” adalah pertanyaan yang mungkin terlintas di benak banyak orang.

Hal ini dapat menyebabkan tekanan untuk terus menunjukkan versi terbaik diri sendiri, meskipun itu berarti menyembunyikan rasa lelah, kesedihan, atau stres yang sebenarnya dirasakan.

Ilusi Kesempurnaan dan Validasi Sosial

Masalahnya, media sosial hanya menampilkan sebagian kecil dari kehidupan seseorang — bagian yang dianggap layak untuk dipamerkan. Foto liburan tidak menunjukkan berapa banyak kerja keras yang dibutuhkan untuk mewujudkannya.

Postingan tentang promosi jabatan tidak menceritakan malam-malam lembur yang penuh tekanan. Begitu pula dengan momen bahagia yang sering kali hanya menutupi tantangan-tantangan di balik layar.

Baca Juga  Membedakan Seseorang Pemalu dan Mengalami Gangguan Kecemasan

Akibatnya, ilusi kesempurnaan ini membuat banyak orang merasa semakin tertekan untuk tampil “baik-baik saja” di hadapan dunia.

Duck Syndrome juga sering diperburuk oleh ekspektasi yang muncul dari media sosial. Misalnya, tekanan untuk terus mendapatkan likes atau komentar positif dapat membuat seseorang merasa bahwa nilai dirinya ditentukan oleh validasi dari orang lain.

Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana seseorang terus berusaha menyembunyikan sisi rapuhnya demi mempertahankan citra sempurna.

Sisi Positif Media Sosial

Namun, tidak semua tentang media sosial bersifat negatif. Jika digunakan dengan bijak, media sosial juga dapat menjadi alat untuk saling mendukung dan berbagi pengalaman.

Semakin banyak orang yang berani berbicara tentang perjuangan mereka, semakin banyak pula kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental. Ini adalah langkah positif untuk mengurangi stigma dan membantu orang lain merasa bahwa mereka tidak sendirian.

Jadi, apa yang bisa dilakukan? Kuncinya adalah kesadaran.

Mengingat bahwa apa yang terlihat di media sosial sering kali hanyalah bagian kecil dari kehidupan seseorang adalah langkah pertama untuk mengurangi tekanan. Selain itu, penting untuk berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain dan lebih fokus pada perjalanan pribadi.

Dengan cara ini, media sosial bisa menjadi ruang yang lebih sehat dan mendukung, bukan sekadar tempat untuk pamer.

Duck Syndrome dan media sosial adalah dua hal yang saling terkait di era modern ini. Memahami hubungan ini dapat membantu kita lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial dan menjaga kesehatan mental di tengah dunia yang serba cepat.