Fatima ‘Perang Kota’ Metafora Perempuan Kekinian yang Tak Kenal Lelah Berjuang

Karakter Fatima
Ariel Tatum ungkap kedalaman karakter Fatima di film 'Perang Kota'. Foto@IG_perangkotafilm
-
-
Print PDF

Ruang.co.id – Dalam jagat sinema Indonesia yang kerap diwarnai stereotip, karakter Fatima di film Perang Kota hadir seperti oase. Ariel Tatum, yang memerankannya, menyebut sosok ini sebagai “cermin perempuan yang berjuang tanpa meminta pujian”. Latar belakang cerita yang mengambil setting era kemerdekaan justru membuatnya semakin universal.

Ariel menggambarkan Fatima bukan sekadar simbol kepahlawanan klise, melainkan representasi perempuan multitasking sepanjang zaman. “Dia adalah ibu yang mencintai anaknya, sekaligus pejuang yang tak sudi menyerah pada keadaan,” ujarnya dalam press conference di XXI Epicentrum Mall.

Dari Workshop ke Layar: Proses Menghidupkan Jiwa Fatima

Empat bulan persiapan intensif dihabiskan Ariel untuk menyelami kompleksitas Fatima. Pendekatan unik dilakukan dengan studi literatur diorama perjuangan perempuan tahun 1945 dan observasi terhadap para janda veteran. Hasilnya? Sebuah karakter yang bernapas:

  • Dimensi keibuan yang terlihat lewat adegan intim dengan Salim
  • Duri-duri psikologis saat harus mengambil keputusan berdarah
  • Nuansa kerentanan yang justru menguatkan kesan realistis

“Kami ingin menghindari glorifikasi. Fatima boleh berkeringat, menangis, bahkan ragu. Tapi di situlah kekuatannya,” papar Ariel.

Mengapa Fatima Masih Relevan di 2025?

Di tengah maraknya diskusi kesetaraan gender dan kesehatan mental perempuan, karakter ini ibarat cermin retak yang memantulkan realitas.

Pertama, ia menolak dikotomi “ibu atau pejuang”. Adegan saat Fatima menyusui sambil merakit senjata menjadi metafora sempurna tentang perempuan modern yang terjepit ekspektasi sosial.

Kedua, film ini secara jenius menampilkan resiliensi tanpa romantisme. Berbeda dengan tokoh wanita kebanyakan di sinema yang kuat karena plot armor, Fatima justru terlihat manusiawi dengan luka fisik dan psikis yang nyata.

Tafsir Kontemporer atas Perjuangan Fatima

Psikolog klinis Lusia Ardianti dalam analisis terpisah menyoroti tiga lapisan makna:

  • Ketahanan mental yang digambarkan melalui ritual kecil Fatima merapikan rambut di tengah perang
  • Agen perubahan dalam skala mikro lewat keputusannya melindungi anak-anak kampung
  • Subversi stereotip melalui adegan di mana Fatima memimpin taktik gerilya
Baca Juga  The Script Siap Konser di Dua Kota Besar Indonesia, Mana Saja? Catat Tanggalnya!

“Karakter semacam ini langka. Biasanya perempuan dalam film laga hanya jadi penyemangat atau korban,” tandas Lusia.

Teknik Sinematik yang Memperkuat Pesan

Sutradara Ifa Isfansyah sengaja menggunakan beberapa pendekatan visual:

  1. Close-up wajah Ariel yang mempertahankan ekspresi ambigu antara lemah dan tegas
  2. Palet warna monokrom dengan sentuhan merah darah yang tidak vulgar
  3. Sound design yang menyisipkan suara detak jantung di tengah adegan tembak-menembak

“Kami ingin penonton merasakan degup konflik batin Fatima, bukan sekadar aksi fisik,” jelas Ifa.