Kirab Budaya Grebeg Suro Sidokepung: Harmoni Spiritual Eyang Sapujagad dan Persatuan Sidoarjo

Kirab Budaya
Kirab Budaya Sidokepung: Grebeg Suro dan Haul Eyang Sapujagad satukan budaya, spiritualitas, dan semangat kebersamaan warga. Foto: Istimeea
Ruang Nurudin
Ruang Nurudin
Print PDF

Sidoarjo, Ruang.co.id – Sabtu sore, 19 Juli 2025, udara Desa Sidokepung, Kecamatan Buduran, membuncah riang. Ratusan warga bersuka cita merayakan Grebeg Suro, rangkaian kegiatan peringatan 1 Muharram 1447 Hijriah sekaligus haul akbar Mbah Sapujagad, tokoh spiritual yang amat dihormati di desa ini.

Kirab budaya yang dimulai pukul 15.00 WIB di lapangan desa ini melibatkan 65 komunitas pelaku budaya dari berbagai latar.

Mereka mengenakan busana adat Jawa dan membawa bendera Merah Putih, menciptakan nuansa religi sekaligus nasionalisme. Elemen seni dan religi berpadu dalam harmoni estetis dan spiritual.

“Kami ingin menghidupkan kembali tradisi Grebeg Suro agar generasi muda tetap mengenal akar budayanya,” ucap Pj. Kepala Desa Sidokepung, M. Zainal Arifin, penuh keyakinan.

Sebagai inspirasi bersama, ia menekankan pentingnya tradisi ini sebagai penjaga nilai persatuan dan budaya.

Sukartini, Kepala Bidang Kebudayaan Dispendikbud Sidoarjo, menambahkan, “Kirab budaya yang melibatkan 65 kelompok komunitas ini merupakan pertama kali diselenggarakan. Kami berharap acara ini menjadi agenda tahunan di Sidoarjo”.

Harapannya, acara ini tak hanya meriah, tetapi juga menjadi penguat identitas daerah dan jembatan antar generasi.

Rangkaian acara berikutnya adalah tradisi Nyadran di pesarean Mbah Sapujagad. Warga berkumpul di makam, mengenakan busana adat Jawa, yakni busana hitam dan batik mendominasi.

Doa bersama, kenduri, dan pembacaan riwayat spiritual tokoh leluhur berlangsung dalam khidmat.

Seorang sesepuh adat menyampaikan, “Tradisi ini bukan hanya ritual tahunan, tapi juga bentuk nyata dari jati diri budaya kita yang harus terus dijaga.”

Kalimat ini menyentuh rasa kebersamaan dan kesadaran historis kaum muda dan tua.

 

Kiprah Spiritual Eyang Sapujagad Menginspirasi Antar Generasi

Eyang Sapujagad, yang punya nama aslinya Raden Aryo Kasman Singodiarjo, dikenal juga sebagai Ki Ageng Sapujagad Dadappurno atau Syeh Ahmanuddin Hasyim bin Pangeran Kusuma Hadi (Kusumawardani), keturunan Prabu Hayam Wuruk dan Sayid Abdullah Asyari (Sunan Bejagung Tuban).

Baca Juga  Koalisi Mahasiswa HMI, PMII, IMM, GMNI, dan SEMMI Dukung Evaluasi LPP APBD Sidoarjo 2024

Sosoknya dikenal sebagai tokoh spiritual dan leluhur di Desa Sidokepung, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo. Makamnya terletak di kompleks Pesarean, Jalan Sapujagad No. 31, Sidokepung.

Kompleks makam tersebut kini dilengkapi fasilitas seperti prasarana umum, jaringan air bersih & listrik, akses jalan, musholla, dan toilet bersih.

Riwayat spiritualnya, diwariskan secara turun-temurun dan menjadi bagian penting dari identitas komunitas di sana. Ia hidup pada abad ke‑16, masa transisi dari Majapahit menuju Demak Bintoro.

Menjadi murid ulama Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang dan lainnya. Ia dikenal memiliki kesaktian luhur, mendirikan sumber air dan “kawah zedi” untuk membantu masyarakat setempat sembari mengajarkan Islam.

Dalam gelaran kirab budaya ini, simbol kesejahteraan hadir dalam tumpeng polo wijo, buah-buahan, jajanan pasar, dan puncaknya saat warga berebut “Gunungan”, simbol kelimpahan hasil bumi.

Suasana adegan natural ini menyiratkan harapan, agar keberkahan leluhur hadir nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Pagelaran Wayang Kulit hingga dini hari menutup serangkaian acara dengan rasa syukur dan kekaguman terhadap tradisi.

Penyelenggara, yakni Desa Sidokepung dan Dispendikbud Sidoarjo, menghadirkan kearifan budaya lokal secara inklusif dan edukatif.

Selain menjaga nilai spiritual, kegiatan ini juga memperkuat kesadaran warga sebagai kontributor pajak daerah.

Grebeg Suro Sidokepung bukan sekadar upacara ritual semata. Sejumlah sesepuh dan tokoh desa ini memberi penajaman, gelaran ini merupakan sebuah refleksi nilai spiritual, persatuan, dan tanggung jawab sosial.

Melalui sinergi doa, budaya, dan partisipasi warga, diyakini masyarakat desa ini, menunjukkan bagaimana tradisi lokal menjadi pilar pemersatu dan inspirasi bagi masa depan.