Kecaman PWDPI Sidoarjo atas Kekerasan Ajudan Kapolri ke Pewarta Foto di Semarang

Kekerasan terhadap jurnalis
Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo. Foto:@IG_listyosigitprabowo
Ruang Nurudin
Ruang Nurudin
Print PDF

Sidoarjo, Ruang.co.id – Kekerasan terhadap jurnalis adalah isu yang terus mengemuka di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Insiden yang terjadi pada 5 April 2025 di Stasiun Tawang, Semarang, merupakan contoh nyata kasus kekerasan yang menimpa jurnalis saat menjalankan tugasnya. Kejadian ini melibatkan seorang ajudan Kapolri yang diduga melakukan tindakan intimidasi dan kekerasan fisik terhadap seorang pewarta foto. Peristiwa ini tidak hanya mencederai harkat jurnalis tetapi juga mengancam nilai-nilai demokrasi yang menjadi landasan dalam masyarakat kita.

Insiden tersebut terjadi di tengah kunjungan kerja Kapolri dan menimbulkan reaksi negatif dari kalangan jurnalis dan organisasi profesi pers. Ketua Persatuan Wartawan Duta Pena Indonesia, PWDPI DPC Sidoarjo, Agus Subakti, menegaskan bahwa tindakan kekerasan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan pers yang diakui oleh undang-undang.

“PWDPI mengecam tindakan ajudan Kapolri dan mendesak institusi tersebut untuk menindak tegas pelaku. Pemintaan ini bukan hanya bersifat insidental, tetapi lebih sebagai langkah untuk menjaga integritas dan keamanan jurnalis yang berperan penting dalam penyampaian informasi kepada publik,” ujar Ucok sapaan Agus Subekti Ketua PWDPI DPC Sidoarjo, Minggu (6/4).

Ia menegaskan, Kerja jurnalistik berfungsi sebagai pengawas dan kontrol sosial dalam suatu demokrasi. Jurnalis yang meliput peristiwa penting merupakan pilar bagi sistem pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Kekerasan terhadap mereka bisa dianggap sebagai usaha untuk membungkam kebenaran dan upaya untuk mengintimidasi mereka yang berani mengungkap fakta. “Seiring dengan tindakan kekerasan itu, muncul pertanyaan mendasar mengenai peran dan tanggung jawab aparat penegak hukum dalam melindungi hak-hak jurnalis dan kebebasan pers,” tandasnya.

Pernyataan Agus Subakti mengenai hubungan antara pers dan institusi negara menjadi krusial dalam konteks ini. Ketika aparat yang seharusnya melindungi masyarakat justru menjadi pelaku kekerasan, kepercayaan publik terhadap institusi tersebut menjadi terganggu. Ini bukan hanya masalah individual, tetapi menyangkut reputasi institusi dan kesehatan demokrasi di Indonesia. Tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan sangat diperlukan untuk mencegah munculnya preseden buruk yang bisa merusak hubungan antara masyarakat dengan badan-badan negara.

Baca Juga  Guru Garda Terdepan Pendidikan: Kunci Bangsa Berkarakter di Era Global

Di sisi lain, solidaritas dari organisasi pers, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pewarta Foto Indonesia (PFI), menunjukkan bahwa komunitas jurnalis bersatu dalam mengadvokasi perlindungan serta hak-hak Jurnalis. “Kami harap dan kami meminta jaminan kepastian bahwa insiden serupa tidak akan terulang kembali, dimana komitmen Polri yang mengatakan bahwa Jurnalis dan Media Pers adalah mitranya?, dan menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi jurnalis. Melalui kehadiran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dalam mengawasi proses investigasi, diharapkan transparansi dan objektivitas dalam penanganan kasus ini dapat terjaga,” tegasnya.

Peristiwa itu juga mengingatkan pada kenyataan pahit bahwa jurnalis di Indonesia masih rentan terhadap kekerasan dan intimidasi. Hal ini patut menjadi perhatian serius bagi seluruh pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat sipil. Saatnya tindakan preventif dan protektif bagi jurnalis tidak hanya dicantumkan dalam disertasi dan peraturan, tetapi juga diimplementasikan dalam praktik sehari-hari.

“Kejadian di Semarang adalah bukti betapa rentannya jurnalis dalam menjalankan fungsi kritis mereka. Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi, kita harus bersama-sama mendukung prinsip kebebasan pers dan perlindungan terhadap jurnalis agar dapat menjalankan tugasnya tanpa rasa takut diintervensi atau mengalami kekerasan,” tegasnya lagi.

Kedepannya, diharapkan bahwa Kapolri dan lembaga terkait mengambil tindakan konkret untuk menjaga kepercayaan publik, dan memastikan kekerasan terhadap jurnalis tidak kembali terulang. Dalam dunia yang semakin kompleks, di mana informasi adalah kekuatan, melindungi jurnalis menjadi suatu keharusan demi keberlangsungan demokrasi yang sehat dan beradab.