Pengepungan di Bukit Duri: Ledakan Konflik Sosial Paling Memukau di Layar 2025!

review Pengepungan di Bukit Duri
Pengepungan di Bukit Duri (2025) sajikan konflik rasial dan kekerasan remaja dengan tensi tinggi. Foto:@IG_fatihunru
-
-
Print PDF

Ruang.co.id– Joko Anwar kembali membuktikan diri sebagai maestro sinema Indonesia melalui Pengepungan di Bukit Duri (2025). Film ini bukan sekadar tontonan, melainkan cermin retak masyarakat yang memadukan konflik rasial, trauma historis, dan kegagalan sistem pendidikan dalam bingkai distopia Jakarta. Setelah sukses dengan Siksa Kubur (2024), Anwar menghadirkan karyanya yang paling ambisius sekaligus kontemplatif ini.

Sinopsis yang Menggigit: Dari Masa Lalu yang Kelam ke Masa Depan yang Suram

Cerita bermula di tahun 2009, ketika Edwin (Morgan Oey) kehilangan kakak perempuannya, Silvy, dalam kerusuhan bernuansa rasial. Adegan pembuka yang brutal ini menjadi akar trauma yang membayangi hidup Edwin. Lompatan waktu ke tahun 2027 memperlihatkan Edwin yang kini menjadi guru di SMA Bukit Duri, sebuah sekolah bobrok yang menjadi miniatur Jakarta yang terpecah belah. Di sini, ia berhadapan dengan Jefri (Omara Esteghlal), pemimpin geng sekolah yang membenci segala hal berbau “Cina”.

Kompleksitas Karakter: Antara Korban dan Pelaku

Apa yang membuat Pengepungan di Bukit Duri istimewa adalah kedalaman psikologis karakternya. Edwin bukanlah pahlawan tanpa cela. Morgan Oey berhasil menampilkan sosok yang dipenuhi amarah tapi juga rapuh. Adegan ketika ia menemukan seragam kakaknya yang berlumuran darah menjadi momen paling mengharukan sekaligus mengerikan.

Di sisi lain, Omara Esteghlal sebagai Jefri berhasil mencuri perhatian. Antagonis ini bukan sekadar “penjahat biasa”. Flashback masa kecilnya yang disiksa ayahnya memberikan dimensi baru: Jefri adalah produk dari lingkaran kekerasan yang tak terputus. Ini membuat penonton sulit sepenuhnya membencinya.

Kritik Sosial yang Menohon

Anwar menggunakan latar fiktif untuk mengkritik realita Indonesia. SMA Bukit Duri yang kumuh dan penuh kekerasan adalah metafora sempurna untuk sistem pendidikan yang gagal. Adegan ketika guru-guru hanya berdiam diri saat murid saling membantai menjadi sindiran pedas terhadap birokrasi pendidikan.

Baca Juga  Pernikahan Arwah, Film Horor yang Siap Memikat Hati Penonton!

Yang lebih cerdas, film ini tak pernah menyebut “1998” secara eksplisit. Namun, penonton yang melek sejarah akan langsung menangkap alegori kerusuhan rasial tersebut. Ini menunjukkan kepercayaan Anwar pada kecerdasan penontonnya.

Adegan Aksi yang Sarat Makna

Berbeda dengan The Raid yang mengandalkan kekerasan spektakuler, adegan perkelahian di sini justru terasa kotor dan tidak heroik. Ketika Edwin dan Jefri akhirnya bentrok, itu bukanlah pertarungan epik ala superhero, melainkan perkelahian putus asa antara dua orang yang sama-sama terluka.

Beberapa Catatan Kecil

Film ini hampir sempurna, tapi ada beberapa hal yang bisa lebih baik. Beberapa dialog terasa terlalu teatrikal, seperti monolog Edwin tentang “kita semua manusia”. Ending yang menggantung juga mungkin disengaja, tapi berisiko membuat penonton merasa belum puas.

Sebuah Masterpiece yang Menantang

Pengepungan di Bukit Duri layak disebut sebagai film Indonesia terbaik tahun 2025. Dengan akting solid, sinematografi gelap yang indah, dan cerita yang menusuk, Joko Anwar membuktikan bahwa sinema Indonesia bisa berbicara banyak hal tanpa perlu menggurui.

Rating: ★★★★★ (4.7/5)

Rekomendasi: Wajib ditonton bagi pencinta film bermutu dan mereka yang ingin melihat potret buram masyarakat melalui lensa sinema.


Sangat. Selain kekerasan fisik, ada tema trauma seksual dan bahasa kasar yang membuatnya pantas mendapat rating D17+.

Ini mungkin karya terbaiknya setelah Gundala. Lebih matang secara cerita dibanding Pengabdi Setan, tapi tetap mempertahankan ciri khas visual Anwar.

Bahwa kekerasan hanya melahirkan kekerasan. Dan bahwa kita semua, entah sebagai korban atau pelaku, terjebak dalam siklus yang sama.