Ruang.co.id – Gelombang kecaman dan aksi boikot Trans7 membanjiri dunia maya, menjadi wabah publik yang tak terelakan. Pemicu kemarahan massa digital ini adalah sebuah program investigasi yang dinilai telah melangkahi batas etika jurnalistik televisi. Program “Xpose Uncensored” yang tayang pada Senin, 13 Oktober 2024, tersebut dituding melakukan pelecehan terhadap salah satu institusi pendidikan Islam terkemuka, Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri. Tagar boikot Trans7 pun merajalela di platform X, membawa serta ratusan ribu cuitan yang mengecam narasi voice over yang dianggap merendahkan martabat kiai sepuh, KH. Anwar Manshur, dan kehidupan santri secara keseluruhan.
Fokus kemarahan publik dalam kontroversi Trans7 ini tertuju pada cara program tersebut menyajikan fakta secara keliru dan penuh prasangka. Tayangan provokatif Trans7 dituding membangun narasi tanpa dasar riset yang mendalam, hanya mengandalkan kesimpulan sepihak dari dalam “tempurung kepala” mereka, sebagaimana dikritik salah satu warganet. Judul episode yang mempertanyakan tradisi santri dengan kalimat “Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok?” dinilai sebagai bentuk sensasi media penyiaran yang tidak bertanggung jawab. Narasi dalam tayangan itu bahkan mengaitkan tradisi sungkem santri dengan isu pemberian amplop, yang kemudian dipertanyakan secara retoris oleh narator.
Di tengah gejolak publik yang memanas, respons Senator Lia Istifhama hadir dengan penekanan pada aspek legalitas. Anggota DPD RI Komite III ini secara tegas menyoroti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang mengamanatkan fungsi penyiaran sebagai perekat sosial. “Sudah sangat jelas, dalam Pasal 4, Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial,” ujarnya. Ia memperingatkan agar fungsi mulia ini tidak dialihkan menjadi sumber provokasi.
Ning Lia Istifhama lebih lanjut menekankan pentingnya memahami fakta secara utuh sebelum berbicara, terutama ketika membahas tradisi pesantren yang kompleks. “Maka jadilah perekat sosial, jangan perkeruh suasana. Saya kira ini penting untuk dimiliki semua pihak,” tegasnya. Pendapat Senator cantik ini diperkuat oleh pengalamannya sendiri sebagai mantan santri di masa SMA yang memberinya perspektif mendalam tentang nilai-nilai kebersamaan dan keberkahan dalam kehidupan pondok. “Kalau bicara pondok pesantren misalnya, budaya nyantri dan kehidupan sosial santri, maka harus berpengalaman sebagai santri, setidaknya lakukan riset mendalam,” imbuh Ning Lia. Pengalaman nyantri Lia Istifhama ini menjadi dasar kuat bagi kritiknya terhadap tayangan Trans7 yang dinilai gegabah.
Dari sisi regulator, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur mengambil langkah proaktif. Ketua KPID Jawa Timur, Royin Fauziana, mengonfirmasi bahwa lembaganya telah kebanjiran laporan dari masyarakat dan tokoh pesantren. Royin Fauziana KPID menyatakan bahwa tayangan tersebut diduga kuat telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. “Kami menilai ada indikasi pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), khususnya terkait penghormatan terhadap nilai-nilai agama dan keberagaman,” papar Royin. Ia menegaskan kembali prinsip dasar bahwa penyiaran harus memperkuat toleransi, bukan sebaliknya, menebar stigma.
Sebagai bentuk tindakan KPID Jatim yang konkret, lembaga ini akan melaporkan seluruh temuan dan aduan kepada KPI Pusat. Mereka juga berkomitmen untuk menyusun rekomendasi kebijakan guna memperkuat literasi media penyiaran bagi semua pemangku kepentingan. Langkah ini diharapkan dapat menjadi pondasi untuk mencegah terulangnya pelanggaran etika penyiaran serupa di masa depan, khususnya untuk konten-konten sensitif yang menyangkut agama dan budaya. Insiden viral Trans7 ini menjadi pengingat keras bagi seluruh industri media tentang tanggung jawab besar yang melekat pada setiap detik tayangan yang disiarkan kepada publik.

