Ruang.co.id – Dalam sebuah pengakuan yang menggemparkan dunia budaya, surat-surat Raden Ajeng Kartini akhirnya resmi ditetapkan sebagai Memory of the World UNESCO 2025. Pengakuan ini bukan sekadar formalitas, melainkan bukti nyata bagaimana pemikiran seorang perempuan Jawa di abad ke-19 mampu menembus batas zaman dan geografi.
Apa yang membuat kumpulan surat ini begitu istimewa? Korespondensi Kartini dengan sahabat-sahabat Eropanya, terutama Stella Zeehandelaar, ternyata bukan hanya berisi curahan hati seorang gadis pingitan. Surat-surat itu menjadi manifesto emansipasi pertama di Asia Tenggara, yang dengan berani menyentuh isu-isu pendidikan perempuan, kritik terhadap poligami, dan impian tentang kesetaraan sosial di era kolonial.
Mengurai Nilai Universal dalam Surat-Surat Kartini
Banyak yang tidak tahu bahwa naskah-naskah Kartini yang diakui UNESCO tersebar di dua benua. Sebagian disimpan di Perpustakaan Nasional Indonesia, sementara salinan lainnya berada di Leiden University, Belanda. Penyebaran lokasi penyimpanan ini justru menjadi simbol bagaimana pemikiran Kartini telah menjembatani dua dunia – Timur dan Barat.
Yang lebih menarik, bahasa Belanda yang digunakan Kartini dalam surat-suratnya menunjukkan penguasaan linguistik yang luar biasa untuk perempuan Jawa masa itu. Gaya penulisannya yang puitis namun tajam dalam kritik sosial membuat para ahli menyamakannya dengan tokoh feminisme global seperti Mary Wollstonecraft.
Indonesia Memukau Dunia dengan Empat Warisan Lainnya
Sementara sorotan utama tertuju pada surat-surat Kartini, sebenarnya ada empat warisan dokumenter lain dari Indonesia yang ikut dikukuhkan UNESCO tahun ini. Masing-masing membawa cerita unik tentang kekayaan intelektual Nusantara.
Arsip Tari Mangkunegaran: Mahakarya Seni yang Hidup
Selama hampir seabad (1861-1944), istana Mangkunegaran di Surakarta dengan teliti mendokumentasikan setiap gerak tari dan komposisi gamelan. Naskah-naskah kuno berisi notasi gerak tari Bedhaya Ketawang ini bukan sekadar catatan, melainkan bukti hidupnya tradisi seni istana Jawa yang terus dilestarikan hingga kini.
Sang Hyang Siksa Kandang Karesian: Konstitusi Budaya Sunda
Ditulis pada daun gebang di abad ke-16, naskah Sunda Kuno ini sering disebut sebagai “kitab undang-undang” budaya Sunda. Isinya mencakup mulai dari tata krama, hukum adat, hingga panduan hubungan diplomatik kerajaan Sunda dengan negara-negara Asia. Keberadaannya membuktikan bahwa masyarakat Sunda telah memiliki sistem sosial yang sangat maju sebelum kedatangan kolonial.
Karya Hamzah Fansuri: Akar Sastra Nusantara
Pengakuan terhadap naskah-naskah Hamzah Fansuri menjadi bukti bahwa Indonesia dan Malaysia memiliki akar budaya yang menyatu. Karya-karya sastrawan sufi abad ke-16 ini, seperti Asrar al-Arifin, tidak hanya penting dari segi spiritual tetapi juga menjadi fondasi perkembangan bahasa Melayu modern.
Dokumen Kelahiran ASEAN: Jejak Diplomasi Regional
Arsip-arsip penting tentang pembentukan ASEAN antara 1967-1976, termasuk naskah asli Deklarasi Bangkok, kini resmi menjadi memori dunia. Dokumen-dokumen ini merekam momen bersejarah ketika lima negara Asia Tenggara memutuskan untuk bersatu di tengah gejolak Perang Dingin.
Dampak Pengakuan UNESCO bagi Indonesia
Pengakuan UNESCO terhadap warisan dokumenter Indonesia ini membawa angin segar bagi upaya pelestarian budaya. Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, menegaskan bahwa dokumen-dokumen ini adalah “jendela untuk memahami evolusi kemanusiaan”.
Bagi Indonesia, manfaatnya sangat konkret. Mulai dari dukungan teknologi preservasi naskah kuno hingga peningkatan daya tarik wisata budaya. Kota Jepara, tempat Kartini dilahirkan, kini bersiap menyambut gelombang baru wisatawan yang ingin melihat lebih dekat warisan sang pelopor emansipasi.
Yang tak kalah penting, pengakuan ini memberikan legitimasi internasional atas kontribusi Indonesia dalam pemikiran global. Dari gagasan Kartini tentang kesetaraan gender hingga peran Indonesia dalam pendirian ASEAN, semua kini tercatat resmi dalam memori peradaban dunia.
“Dari tinta emas Kartini hingga daun gebang Sunda, warisan dokumenter Indonesia terus berbicara kepada dunia. Pengakuan UNESCO ini bukan titik akhir, melainkan babak baru dalam upaya kita merawat memori kolektif sebagai bangsa yang berkontribusi bagi peradaban global.”