Ruang.co.id – Kedatangan 36 biksu Thudong asal Thailand di Candi Borobudur bukan sekadar kunjungan biasa. Mereka membawa misi spiritual yang dalam, melakukan ritual pradaksina sebagai bagian dari perayaan Waisak. Sabtu (9/5/2025) sore menjadi saksi bisu langkah-langkah khidmat mereka mengelilingi stupa induk, menorehkan makna di setiap putaran.
Pradaksina: Lebih dari Sekadar Mengelilingi Stupa
Filosofi di Balik Ritual Mengitari Candi
Pradaksina, menurut situs resmi Kemenag, adalah ritual penghormatan dengan mengitari objek suci seperti stupa. Biksu Thudong melakukannya dengan sikap anjali, kedua tangan merangkap di dada, sambil melangkah perlahan searah jarum jam. Tiga putaran penuh makna ini diiringi lantunan parita suci, menciptakan harmoni antara gerak dan doa.
Di Candi Borobudur, ritual ini tak hanya dilakukan oleh biksu. Samanera, attasilani, hingga umat awam (upasaka dan upasik) turut serta, menyatukan energi spiritual dalam satu lingkaran penghormatan. Setiap langkah mereka adalah bentuk penghayatan terhadap Triratna: Buddha, Dharma, dan Sangha.
Tiga Pilar Pelaksanaan Pradaksina
Syarat yang Menjadikan Ritual Ini Begitu Spesial
Ritual pradaksina tak bisa dilakukan asal-asalan. Ada tiga syarat pokok yang harus dipenuhi, menjadikannya sebagai aktivitas spiritual yang utuh. Pertama, adanya objek penghormatan yang benar atau dakkhineyya sampada. Stupa induk Candi Borobudur dipilih bukan tanpa alasan, melainkan karena kesuciannya dalam tradisi Buddha.
Kedua, cetana sampada atau kehendak yang benar. Niat tulus menjadi fondasi utama. Tanpa ini, ritual hanyalah gerakan fisik tanpa jiwa. Ketiga, sikap yang benar. Anjali bukan sekadar gestur tangan, melainkan simbol kerendahan hati dan fokus penuh pada spiritualitas.
Pradaksina sebagai Meditasi Berjalan
Ketika Setiap Langkah Menjadi Perenungan
Bagi biksu Thudong, pradaksina adalah bentuk meditasi dalam gerak. Mereka menyebutnya sebagai “kesadaran kekinian dalam setiap langkah”. Ritual ini mengajarkan untuk hadir sepenuhnya di saat ini, merasakan setiap hembusan napas, dan menyelaraskan gerak dengan batin.
Tak heran jika setelah ritual, wajah-wajah mereka terlihat lebih tenang. Pradaksina telah menjadi jembatan antara dunia fisik dan spiritual, mengondisikan batin untuk mencapai ketenangan sejati. Dalam keheningan Borobudur yang megah, ritual ini terasa seperti dialog antara manusia dan alam semesta.

