Ponsel di Dada Picu Kanker Payudara? Dokter Ungkap Fakta Mengejutkan dan 5 Gejala yang Sering Diabaikan!

fakta radiasi ponsel
Mitosis ponsel sebabkan kanker payudara dibantah dokter. Foto:@Freepik
Ruang Sely
Ruang Sely
Print PDF

Ruang.co.id – Isu radiasi ponsel memicu kanker payudara telah lama jadi perdebatan. Namun, Dr. Tang Siau-Wei, ahli bedah payudara ternama dari Solis Breast Care & Surgery Centre Singapura, dengan tegas menyatakan hal ini sebagai mitos medis yang keliru. “Tidak ada satupun penelitian valid yang membuktikan korelasi antara radiasi ponsel dan kanker payudara,” ujarnya dalam konferensi pers April 2025.

Faktanya, radiasi elektromagnetik dari ponsel tergolong non-ionizing radiation yang energinya terlalu rendah untuk merusak DNA. Berbeda dengan radiasi sinar-X atau UV yang memang bersifat karsinogenik. Lalu mengapa mitos ini terus beredar? Salah satunya karena kesalahpahaman terhadap studi awal tentang radiasi ponsel yang sebenarnya belum konklusif.

5 Faktor Risiko Kanker Payudara yang Lebih Berbahaya Daripada Ponsel

Jika radiasi ponsel bukan ancaman, lalu apa saja penyebab kanker payudara yang sebenarnya? Dr. Tang memaparkan lima faktor dominan berdasarkan data klinis terbaru.

  1. Mutasi genetik BRCA1 dan BRCA2 yang meningkatkan risiko hingga 80%.
  2. Faktor hormonal seperti menstruasi dini sebelum usia 12 tahun atau menopause terlambat di atas 55 tahun.
  3. Gaya hidup tidak sehat termasuk konsumsi alkohol berlebihan dan kurang aktivitas fisik.
  4. Obesitas pasca-menopause karena jaringan lemak memproduksi estrogen ekstra.
  5. Paparan radiasi dosis tinggi di area dada sebelum usia 30 tahun—bukan dari ponsel, melainkan dari terapi medis seperti radioterapi.

Gejala Awal Kanker Payudara yang Sering Disalahartikan

Banyak penderita baru menyadari kanker payudara saat sudah stadium lanjut karena mengabaikan gejala awal. Menurut Dr. Tang, perubahan tekstur kulit payudara seperti mengerut atau menebal kerap dianggap alergi biasa. Begitu pula dengan puting yang tiba-tiba tertarik ke dalam atau mengeluarkan cairan kecoklatan—sering dikira infeksi ringan.

Baca Juga  TPS Surabaya Sambut Layanan Baru Maersk "IN2 Service" di Awal 2025, Tingkatkan Konektivitas Ekspor ke Asia Tenggara

Gejala lain yang patut diwaspadai termasuk nyeri payudara persisten tanpa penyebab jelas dan pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak. “Pada 15% kasus, kanker justru tidak menimbulkan benjolan di fase awal,” tambah Dr. Tang. Inilah mengapa skrining rutin sangat krusial.

Data Epidemiologi Kanker Payudara di Indonesia: Alarm untuk Deteksi Dini

Berdasarkan Global Cancer Observatory 2022, Indonesia mencatat 68.858 kasus baru kanker payudara dengan angka kematian mencapai 22.430 jiwa per tahun. Artinya, setiap jam 2-3 wanita Indonesia meninggal karena penyakit ini. Yang lebih mengkhawatirkan, 30% pasien baru datang ke dokter saat sudah stadium 3 atau 4 dimana peluang kesembuhan turun drastis.

Kapan Harus Mulai Skrining? Protokol Pemeriksaan yang Direkomendasikan

Dr. Tang menganjurkan pemeriksaan mandiri (SADARI) setiap bulan setelah menstruasi bagi wanita di atas 20 tahun. Sementara untuk mamografi, idealnya dilakukan setahun sekali mulai usia 40 tahun. “Jika memiliki faktor risiko genetik, skrining bisa dimulai 10 tahun lebih awal dari usia termuda kerabat yang terkena kanker,” jelasnya.

Untuk wanita dengan mutasi gen BRCA, alternatif seperti MRI payudara lebih direkomendasikan karena sensitivitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi tumor kecil. Teknologi terbaru seperti pemindaian tomosintesis juga mulai tersedia di beberapa rumah sakit besar Indonesia.

Disclaimer: Artikel ini ditulis tidak dimaksudkan sebagai pengganti diagnosis profesional. Konsultasikan dengan dokter untuk pemeriksaan menyeluruh.

Tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan risiko kanker. Namun, beberapa penelitian menyarankan untuk tidak menyimpan ponsel terlalu dekat dengan tubuh dalam waktu lama.

Ya, meski jarang (1% dari total kasus). Gejalanya mirip dengan wanita: benjolan, nyeri, atau perubahan kulit di area dada.

Mitos. Badan Pengawas Obat AS (FDA) menyatakan tidak ada kandungan aluminium dalam deodoran yang terbukti karsinogenik.