Ruang.co.id – Menyambut hari tayangnya pada 30 April 2025, film Perang Kota karya Mouly Surya siap memukau penonton dengan narasi kompleks tentang manusia di tengah gejolak Jakarta pasca-kemerdekaan. Adaptasi dari novel legendaris Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis ini bukan sekadar film perang biasa, melainkan potret psikologis mendalam tentang trauma, kehormatan, dan harga diri yang terkikis.
Konflik Batin di Balik Aksi Tempur
Di balik adegan tembak-menembak yang dihadirkan dengan teknologi Dolby Atmos, tersembunyi kisah pilu Isa (Chicco Jerikho), mantan pejuang kemerdekaan yang kini terjebak antara kewajiban sebagai guru dan trauma masa lalu yang membuatnya impotensi. Film ini secara brilian mengangkat isu mental health pasca-trauma perang yang jarang disentuh di sinema Indonesia.
Segitiga Cinta dalam Bayangan Kolonial
Hubungan rumit antara Isa, Fatimah (Ariel Tatum), dan Hazil (Jerome Kurnia) menjadi metafora sempurna untuk menggambarkan pertarungan ideologi di era tersebut. Hazil yang karismatik mewakili generasi baru dengan pemikiran progresif, sementara Isa menjadi simbol generasi tua yang terjepit antara tradisi dan modernitas.
Akurasi Historis dan Teknologi Sinematik
Mouly Surya menunjukkan komitmen tinggi pada detail historis. Mulai dari senjata api klasik seperti Luger P08 hingga setting kota Jakarta tahun 1940-an yang direkonstruksi dengan cermat. Penggunaan Dolby Atmos tidak hanya untuk adegan action, tapi juga memperkuat atmosfer tegang dalam dialog-dialog krusial.
Analisis Karakter dan Tema Mendalam
Tokoh Isa mungkin menjadi salah satu karakter paling kompleks yang pernah diperankan Chicco Jerikho. Keterpurukannya melawan impotensi bukan sekadar konflik fisik, melainkan perlambang impotensi politik suatu bangsa yang baru saja merdeka. Sementara Fatimah yang diperankan Ariel Tatum merepresentasikan perempuan terjepit di antara tuntutan sosial dan hasrat pribadi.
Relevansi Kontemporer
Meski berlatar era 1940-an, tema film tentang pertarungan ideologi, mental health pasca-trauma, dan relasi kuasa gender terasa sangat relevan dengan isu-isu kekinian. Film ini berhasil membawa karya sastra klasik ke generasi muda tanpa kehilangan kedalaman filosofisnya.

