Ruang.co.id – Di tengah hiruk-pikuk musik metal yang kerap diidentikkan dengan lirik gelap atau mitologi, Bvrtan justru memilih jalan berbeda. Band asal Depok ini mengangkat kisah pilu petani, ketidakadilan sosial, dan kehidupan rakyat kecil melalui musik black metal yang kasar namun penuh makna. Bagaimana cerita di balik keunikan mereka?
Asal-Usul Bvrtan: Proyek Solo yang Berubah Menjadi Suara Perlawanan
Awalnya, Bvrtan hanyalah proyek solo Nico (Kvli Arit), mantan personel band death metal Sickmath. Pada 2011, ia menggandeng Zul (Pak Kades), sahabatnya yang kala itu tinggal di luar negeri, untuk mengisi vokal. Nama Bvrtan sendiri merupakan singkatan dari “Bvrvh Tani”, dengan penggantian huruf ‘U’ menjadi ‘V’ sebagai penghormatan pada tradisi black metal Skandinavia.
Yang menarik, meski musikalitas mereka sarat dengan distorsi gitar dan vokal growling, lirik-lirik Bvrtan justru bercerita tentang sawah, koperasi desa, tengkulak, dan perjuangan petani melawan sistem. Nico dan kawan-kawan sengaja memilih tema ini karena ingin “menjadi corong bagi yang tak terdengar”.
Diskografi yang Menghantam Telinga sekaligus Hati
Sejak debut, Bvrtan telah merilis tiga album penuh yang masing-masing memadukan kegelapan black metal dengan realita sosial. Album pertama, “Savvah Penderitaan” (2011), menyoroti nestapa petani melalui 11 lagu, termasuk “Pemvja Sawah Tebv” yang menjadi simbol perlawanan.
Tahun berikutnya, “Meranaers, Nelongsoers, Nesvers” (2012) memperluas cakupan kritik sosialnya, tak hanya fokus pada petani tetapi juga penderitaan rakyat kecil secara umum. Puncaknya adalah “Gagak Pancakhrisna” (2018), album yang bahkan diakui VICE sebagai salah satu “album metal terbaik Indonesia tahun itu”.
Dari Depok ke Dunia: Apresiasi Media Internasional
Meski jarang muncul di media arus utama, Bvrtan justru digemari di kalangan underground global. Kolaborasi mereka dengan Taake, band black metal legendaris Norwegia, dalam EP “Sartinem” membuktikan bahwa musik mereka resonan di kancah internasional.
VICE dalam ulasannya menyebut “Gagak Pancakhrisna” sebagai “karya yang brutal sekaligus menyentuh”, sementara komunitas metal di Eropa kerap memuji keunikan tema pertanian yang jarang ditemui di genre ini.
Filosofi di Balik Lirik: Metal sebagai Senjata Perlawanan
Bagi Bvrtan, black metal bukan sekadar genre, melainkan alat untuk menyampaikan protes. Nico kerap menekankan bahwa “musik harus punya nyawa dan tujuan”.
“Kami tidak ingin sekadar bermain cepat dan keras. Kami ingin orang mendengar jeritan petani melalui musik kami,” ā Kvli Arit (Nico).
Pendekatan ini membuat Bvrtan dikagumi bukan hanya oleh pencinta metal, tetapi juga aktivis dan pegiat sosial.
Black Metal yang Menyentuh Bumi
Bvrtan membuktikan bahwa musik ekstrem bisa menjadi medium kritik sosial yang powerful. Dengan tema pertanian dan nuansa lokal, mereka tidak hanya unik tetapi juga relevan. Bagi yang penasaran, cek “Gagak Pancakhrisna” untuk memahami bagaimana black metal bisa bercerita tentang sawah dan penderitaan rakyat.

