Ruang.co.id – Kisah pilu dari jalanan Tenggumung Karya Lor, Semampir, kembali membuka mata tentang kenyataan yang tak bisa terus disangkal, krisis moral di kalangan remaja semakin nyata.
Tawuran yang terjadi pada dini hari Senin (7/4/2025) bukan hanya konflik remeh antar geng remaja. Ia adalah sinyal bahaya, sebuah seruan sunyi dari anak-anak warga Surabaya yang mungkin tak tahu lagi cara minta tolong.
Menanggapi hal ini, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur menyodorkan sebuah pendekatan baru, bukan hukuman!, tapi pemulihan. Melalui Rumah Pemulihan Anak (RPA), LPA Jatim mengusulkan rehabilitasi sosial dan pendidikan karakter sebagai jalan keluar dari lingkaran kekerasan. Sebuah ide yang tak hanya berpijak pada empati, tapi juga pada data, hukum, dan keberanian melihat akar masalah.
M Isa Ansori, tokoh penting di balik usulan ini, menilai bahwa negara tak bisa terus-menerus bermain reaktif. āSudah waktunya kita berpindah dari pola tunggu-lapor menjadi deteksi dini dan bertindak,ā ujar Isa. Ia menunjuk langsung ke UU Perlindungan Anak sebagai dasar sah negara untuk mengambil alih pengasuhan dalam kondisi darurat, tapi bukan untuk menghukum, melainkan untuk merawat, menguatkan, dan menyelamatkan.
Dalam usulan RPA, anak-anak pelaku kekerasan tidak dibiarkan mengembara dalam ketakpastian, tapi diarahkan ke tempat yang aman, terstruktur, dan penuh kasih. Di sana, mereka mendapat pendampingan psikologis, pelatihan keterampilan, dan pendidikan berbasis karakter. Bukan sekadar mencetak lulusan, tapi membentuk manusia yang siap kembali ke masyarakat.
Namun, gagasan ini tak bisa hidup sendiri. RPA harus dibangun lewat kolaborasi lintas sektor, pemerintah daerah, kepolisian, dinas pendidikan, komunitas, hingga pengadilan. Isa menyebut Surabaya sebagai kota yang paling siap memulai pilot project ini, berkat infrastruktur sosial dan statusnya sebagai Kota Layak Anak. Sekolah alternatif, rumah singgah, dan layanan konseling bisa menjadi pondasi awal menuju sistem baru yang lebih humanis dan berdaya tanggap.
Di balik tawuran dan kekerasan remaja, sering kali ada cerita tentang rumah yang rapuh, tekanan ekonomi yang menyesakkan, dan sistem pendidikan yang tak cukup lentur. Ketika keluarga menyerah, kata Isa, negara tidak boleh ikut menyerah. “Negara harus hadir, bukan dengan kekerasan baru, tapi dengan pelukan yang tegas dan ruang aman untuk bertumbuh kembali,” ungkapnya penuh keyakinan.
Bagi generasi muda dan semua yang peduli pada masa depan bangsa, inilah momentum untuk sadar, kita tak bisa membiarkan satu pun anak bangsa tumbuh dalam bayang-bayang kelam tanpa uluran tangan.
Rumah Pemulihan Anak bukan sekadar bangunan, tapi simbol dari cinta yang tidak membiarkan, kedisiplinan yang tak melukai, dan harapan bahwa semua anak bisa diselamatkan, asal kita mau bersama-sama menjaganya. Dari ruang sederhana itu, lahir generasi baru yang lebih kuat, berempati, dan tahu ke mana harus melangkah.

