Sidoarjo, Ruang.co.id – Di sebuah rumah sederhana di Desa Keper, Kecamatan Krembung, Sidoarjo, seorang perempuan lansia bernama Muslikah. Usianya 76 tahun, fisiknya tak lagi kuat menopang aktivitas harian. Kakinya lumpuh, dan sejak lama ia harus bergulat dengan keterbatasan seorang diri. Tak ada keluarga yang tinggal bersamanya, hanya kenangan yang memenuhi dinding-dinding rumah tuanya itu. Namun, hidupnya bukan kisah tentang keluh kesah, melainkan tentang syukur yang tak lekang oleh waktu.
Minggu pagi (11/5), Wakil Bupati Sidoarjo Mimik Idayana gercep lngsung datang berkunjung. Bukan kunjungan seremonial penuh formalitas, kunjungan dari hati. Tanpa banyak protokol, Wabup Mimik hadir dengan wajah ramah dan perhatian yang tulus. Ia menyapa Muslikah, duduk di sampingnya, dan melihat langsung bagaimana seorang warga lansia hidup dalam kesunyian yang nyaris tak terdengar publik.
Muslikah memang tak lagi bisa memasak. Untuk ke kamar mandi, ia harus ngesot sendiri. Anak semata wayangnya sudah meninggal, dan dua cucunya tidak lagi tinggal bersamanya. Tawaran untuk pindah pun ditolak. Rumah itu meski sederhana dan sepi, menyimpan jejak cinta dan cerita masa lalu yang tak mudah ditinggalkan.
Di balik keterbatasannya, Muslikah tetap tersenyum. Ia bersyukur karena pemerintah daerah tetap hadir. Dua kali sehari makanan datang. Kesehatannya dijamin lewat BPJS yang ditanggung Pemkab Sidoarjo. Bantuan pangan non-tunai dari Kementerian Sosial juga rutin ia terima. Namun kunjungan Wakil Bupati hari itu memberi lebih dari sekadar bantuan logistik, ia membawa perhatian yang tak ternilai.
Wabup Mimik memberikan kursi roda dari Dinas Sosial, paket family kit dari BPBD, serta roti dan susu karena tahu Muslikah tak bisa lagi memasak. Ia juga menyelipkan bantuan pribadi: uang, janji untuk mengirim kasur, pakaian, dan minyak kayu putih. Semuanya bukan sekadar bentuk bantuan, melainkan simbol nyata bahwa negara tak boleh abai terhadap warganya, sekecil dan sesunyi apapun suara mereka.
Sebelum berpamitan, Mimik Idayana meminta doa dari Muslikah. Ia percaya bahwa kekuatan negeri ini juga bersumber dari doa orang-orang yang selama ini luput dari sorotan. Ia menitipkan Muslikah kepada cucu dan tetangga, dan meminta seluruh perangkat desa hingga kecamatan untuk terlibat aktif merawat warganya.
Pesannya lugas, tapi mengandung makna dalam: jangan tunggu laporan, turun langsung, sapa masyarakat, dan buka mata terhadap penderitaan yang tersembunyi. Ia ingin warga miskin tidak sekadar terdata, tetapi benar-benar terjangkau.
Langkah ini bukan hanya soal bantuan individu. Ini adalah pesan moral yang kuat: bahwa pemerintahan yang baik adalah yang menjangkau sampai ke pojok-pojok sunyi, hingga suara paling lirih pun bisa terdengar. Kepedulian, jika dilakukan bersama, akan menjadi gerakan yang menguatkan dan memuliakan.
Dalam wajah Muslikah yang tersenyum, terpetik sebuah pembelajaran bahwa kehadiran bukan tentang kemewahan, tapi ketulusan. Di tengah hiruk-pikuk pembangunan, kisah ini menjadi pengingat, bahwa kemajuan sejati adalah ketika yang lemah pun merasa kuat karena tidak berjalan sendiri.

