Kurban Bukan Sekadar Hewan: Melepas Keterikatan Duniawi

Makna Kurban
Kurban Bukan Sekadar Hewan: Melepas Keterikatan Duniawi. Foto: ruangcoid
Ruang Mujiono
Ruang Mujiono
Print PDF

Ruang.co.id – Idul Adha sering kali terjebak dalam pemahaman dangkal: sekadar ritual penyembelihan hewan. Padahal, esensi ibadah kurban adalah pembedahan jiwa yang melepaskan belenggu materialisme. Momentum ini dirancang untuk mengasah kepasrahan total pada Allah SWT, sekaligus meneguhkan keseimbangan antara spiritualitas dan solidaritas sosial. Mari selami makna transendental di balik tradisi tahunan ini. Kamis, (5/6/2025).

Penyembelihan hewan hanyalah kulit luar. Yang esensial adalah revolusi kesadaran di baliknya. Setiap tahapan kurban mengandung filosofi pembebasan yang mengubah paradigma.

Kurban mengajarkan pelajaran brutal: harta bukan benda mati untuk dikoleksi, melainkan alat pemberdayaan umat manusia. Melalui penyembelihan, kita melatih detasemen emosional dari materi. Kesadaran akan kefanaan dunia inilah yang memupuk sikap syukur dan mencegah hedonisme berlebihan. Seperti diungkap Haedar Nashir: “Makna hidup adalah menyadari kesementaraan harta, kuasa, dan kesenangan dunia.”

Ketua PP Muhammadiyah itu menegaskan: “Allah mengajarkan kita berkurban demi ibadah dan kemaslahatan bersama.” Pernyataan ini adalah peta jalan transendensi. Dengan mengubah ekonomi individu (hewan) menjadi aset sosial (daging kurban), kita menjembatani kesenjangan material. Inilah alih fungsi kepemilikan yang disyariatkan.

Baca Juga  Mandi Iduladha: Ritual Penyucian Diri Jelang Hari Kurban

Ibadah kurban sejatinya adalah protokol pelepasan diri. Ia bekerja layaknya operasi spiritual yang mengikis tumor keterikatan.

Dengan menyembelih hewan, seorang mukmin melakukan pembedahan simbolis pada keterikatannya pada harta. Tindakan ini adalah deklarasi kemerdekaan jiwa: bahwa dunia bukan lagi penjara. Penyerahan total ini – jika dilandasi keikhlasan – membuka pintu ridha dan keberkahan Allah SWT. Inilah kemenangan takwa atas nafsu.

Berkebalikan dengan filosofi kurban, manusia kerap terjangkit virus ketamakan. Dorongan untuk menguasai dunia sering berujung pada eksploitasi ilegal dan kerusakan sosial. Nafsu duniawi ini adalah epidemik abadi. Kurban hadir sebagai vaksin rohani yang mengimunisasi hati dari patologi ini.

Baca Juga  Cegah Wabah, Surabaya Gencarkan Pemeriksaan Hewan Kurban Jelang Idul Adha

Idul Adha bukan seremoni tahunan belaka. Ia adalah laboratorium introspeksi tempat kita menguji komitmen spiritual.

Refleksi kritis harus diajukan: “Sudahkah hidup kita berbasis iman dan takwa?” Kurban adalah alat diagnosa hati – ia mengungkap seberapa dalam virus materialisme menggerogoti jiwa. Ritual ini adalah terapi preventif agar hati tak dikuasai nafsu duniawi yang menyesatkan.

Warisan abadi ritual kurban adalah filsafat hidup sederhana dan cukup. Ini bukan kemiskinan, tapi kemerdekaan dari jerat keinginan. Kebijaksanaan ini memampukan kita memberi dampak sosial nyata sekaligus mengumpulkan provisi akhirat. Singkatnya: kesederhanaan adalah tangga menuju kemuliaan multidimensi.

Dimensi terpenting yang kerap terlewat: kurban adalah rekayasa solidaritas. Distribusi daging bukan aktivitas karitatif biasa – ia adalah strategi sosial untuk meruntuhkan tembok kesenjangan. Inilah ibadah vertikal-horizontal yang menyatukan ketundukan pada Allah dengan kepedulian pada sesama.