Ruang.co.id ā Proses pemilihan Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) yang semestinya menjadi panggung integritas akademik, kini justru menjadi sorotan tajam publik kampus.
Keputusan akhir yang menetapkan Dr. Edi Krisharyanto, S.H., M.H., sebagai dekan periode 2025ā2029, memunculkan polemik internal, lantaran diduga kuat tidak mencerminkan hasil suara senat fakultas yang sah.
Dalam dokumen pengumuman resmi bertanggal 15 Juli 2025, nama Edi Krisharyanto muncul sebagai dekan terpilih, mengalahkan dua kandidat lain, Dr. Titik Suharti dan Dr. Ria Tri Vinata.
Namun, sejumlah dosen dan anggota senat menyampaikan kekecewaan mendalam terhadap proses tersebut, yang dinilai cacat demokrasi dan sarat konflik kepentingan.
“Ini bukan hanya soal siapa yang terpilih, tapi soal bagaimana prosesnya dijalankan. Kami melihat adanya ketidaksesuaian hasil dengan mekanisme yang seharusnya berlaku di lingkungan akademik yang menjunjung tinggi transparansi,” ujar seorang anggota senat Fakultas Hukum UWKS yang enggan disebut namanya.
Kekecewaan ini mencuat karena hasil penilaian senat, yang seharusnya menjadi dasar utama pengambilan keputusan, tidak dijadikan pertimbangan utama.
Proses pengambilan keputusan dinilai tertutup dan diduga kuat melibatkan intervensi pihak luar senat.
Bila lembaga kampus telah ternodai, Rocky Gerung pernah berkata: “Kampus adalah buku terbuka yang harus dipertanyakan isinya oleh setiap civitas akademika”.
Sayangnya, filosofi ini seakan dikaburkan oleh praktik-praktik nepotisme yang kini mencoreng institusi yang seharusnya menjadi benteng moral.
Seorang dosen muda Fakultas Hukum UWKS, menilai, fenomena ini bisa menjadi titik balik yang suram bagi dunia akademik.
āKita kehilangan harapan kalau kampus mulai mengabaikan suara senat, dan membiarkan proses pemilihan berjalan atas dasar pesanan. Ini bukan hanya mencoreng kampus, tapi mencederai kepercayaan generasi muda terhadap keadilan akademik,ā tegasnya.
Pengurus BEM FH UWKS, juga menyoroti ketidaktransparanan panitia pemilihan dekan ini.
āKami mahasiswa hanya ingin keadilan dan keterbukaan. Jika panitia pemilihan saja tidak memegang prinsip etika, bagaimana bisa mereka membentuk generasi hukum yang berintegritas?ā katanya lantang dalam forum diskusi kampus.
Kecurangan Mengajarkan Budaya Koruptif
Para pengamat akademik menekankan, pentingnya audit independen yang transparan, terhadap proses pemilihan tersebut.
Tidak hanya untuk menjaga stabilitas internal kampus, tetapi juga untuk menyelamatkan marwah lembaga pendidikan dari krisis kepercayaan dan degradasi moral.
Kampus, dalam idealismenya, harus menjadi ruang suci intelektual yang bersih dari transaksi politik kekuasaan ataupun transaksi pundi ā pundi rupiah kata mereka yang dikecewakan.
Proses pemilihan pimpinan bukanlah ajang rebutan jabatan, melainkan amanah moral untuk memajukan peradaban hukum dan pendidikan.
Jika terpaan isu ini terus dibiarkan tanpa penyelesaian objektif, maka bukan tidak mungkin UWKS akan kehilangan kepercayaan publik, terutama dari calon mahasiswa dan akademisi yang menaruh harapan besar pada nilai-nilai luhur pendidikan.
Namun bilamana indikasi kecurangan itu nantinya terbukti benar adanya, tentunya dapat mencoreng moreng dunia pendidikan tinggi secara umum.
Terjadinya degradasi maupun kerusakan Moral Akademik dan Kemunduran Mutu Institusi kampus, apalagi lembaga yang menelorkan praktisi dan ahli penegak hukum.
Prof. Dr. Darmaningtyas dalam bukunya “Pendidikan: Antara Pasar dan Negara” (2004), menyatakan, “Ketika jabatan akademik diperoleh bukan karena meritokrasi tetapi karena rekayasa kekuasaan, maka kampus kehilangan fungsi sebagai benteng moral dan pencetak peradaban”.
Maka dampak yang ditimbulkannya, terjadi degradasi standar akademik; Semangat kejujuran ilmiah runtuh; Iklim belajar mengajar menjadi pragmatis dan penuh kepentingan.
Perguruan tinggi merupakan tempat pertama bagi calon pemimpin bangsa belajar demokrasi. Jika proses pemilihan di kampus curang, maka dengan sadar maupun tidak, bahwa dirinya sedang melatih sekaligus mengajarkan korupsi sejak dini.
Ibarat sebuah penyakit, mahasiswanya akan tertular menyerap budaya manipulatif sebagai norma. Selain hilangnya role model yang sehat di dunia pendidikan tinggi.

