Uang Rakyat Dana APBD “Tidur Panjang” di Bank, Ahli Hukum Keuangan Menduga Kuat Terjadi Maladministrasi

APBD Sidoarjo mengendap
Dana APBD Sidoarjo senilai Rp900 miliar diduga lama mengendap di Bank Jatim. Ahli hukum menilai potensi maladministrasi anggaran daerah. Foto : Istimewa
Ruang Nurudin
Ruang Nurudin
Print PDF

Sidoarjo, Ruang.co.id – Dana Anggaran Perencanaan Belanja Daerah (APBD) mengendap “tertidur” tahun 2024 di bank – bank plat merah milik pemerintah, kini menjadi sorotan publik.

Masalah ini menjadi perhatian serius Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Purbaya Yudhi Sadewa. Bahkan Menkeu Purbaya memastikan akan menginvestigasi uang pemerintah yang ditempatkan di perbankan dalam bentuk simpanan berjangka, slah satunya berupa deposito.

Berdasarkan data yang terungkap, pemerintah memiliki simpanan berjangka sebanyak Rp 285,6 triliun per Agustus 2025. Jumlah tersebut mengalami peningkatan setiap bulannya, meningkat signifikan dari posisi per Desember 2024 sebesar Rp 204,2 triliun.

“Kita masih investigasi itu uang apa. Tapi kalau saya tanya anak buah saya, mereka bilang enggak tau. Tapi saya yakin mereka tahu,” ujarnya kepada Pers di Jakarta, Kamis malam (17/10/2025) kemarin.

Dana APBD mengendap, juga terjadi di Kabupaten Sidoarjo. Tabulasi Laporan neraca realisasi anggaran 2024 Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menunjukkan lebih dari Rp900 miliar dana daerah sempat didepositokan di sejumlah bank milik negara.

Memang hasil dana mengendap itu sangat menggiurkan. Terhitung per Agustus hingga Desember 2024 dalam tabel neraca itu, Pendapatan bunga mencapai Rp14,28 miliar, melampaui target anggaran sebesar Rp9,18 miliar.

Di balik angka bunga deposito fantastis itu, uang yng semestinya untuk rakyat Sidoarjo, lebih dulu menghasilkan bunga daripada menghasilkan manfaat bagi rakyatnya.

Sementara laporan keuangan BPKAD Sidoarjo, penempatan terbesar berada di Bank Jatim, masing-masing senilai Rp50 miliar per deposito. Beberapa di antaranya memberikan bunga di atas Rp1,3 miliar per periode, menandakan penempatan jangka menengah dengan hasil tinggi.

Sorotan publik pun mulai marak membincangkannya, dugaan kuat mengarah, Pemkab Sidoarjo gagal menyerap dana APBD dan pembangunannya jadi sangat lamban.

Baca Juga  BUMD Jatim Harus Buktikan Kinerja Sebelum Minta Suntikan Modal

Lebih ekstrem lagi, dugaan tudingan bahwa ada indikasi kesengajaan untuk “memarkir” lama dana rakyat itu, dengan memperoleh keuntungan sepihak yang menggiurkan berpotensi penyelewengan dari bunga depositonya. Sekalipun yang semestinya secara transparan bunga tersebut masuk Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Astri J. Monita,SH.,MH., ahli dan praktisi hukum keuangan mengatakan, ada beberapa hal penyebab dana APBD lamban terserap. Salah satunya potensi terjadinya Maladministrasi Kebijakan Anggaran.

“Soal kebijakan Parkir lama dana APBD di bank daerah dan lamban terserap itu secara hukum, pemerintah daerah juga berpotensi melakukan tindakan Maladministrasi Kebijakan Anggaran, meskipun secara administratif tidak selalu melanggar hukum,” tukas Monic, sapaan akrab Astri J. Monita, Minggu (26/10/2025).

Secara aspek kewajaran, menurut Monic, memang boleh menempatkan sementara dana kas daerah di bank daerah (seperti Bank Jatim) dalam bentuk deposito, selama masih dalam tahun anggaran berjalan.

Namun, praktik ini sering menimbulkan pertanyaan etis dan akuntabilitas publik, sebab dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat justru mengendap di bank, menghasilkan bunga besar bagi kas daerah, dalam kasus ini Rp 14 miliar lebih.

Meskipun bunga tersebut masuk ke Pendapatan Asli Daerah (PAD), lanjut Monic, dapat dipastikan masyarakat tidak merasakan manfaat langsung, terutama jika proyek publik tertunda.

Monic yang juga advokat piawai ini menilai, lambannya penyerapan dana APBD itu lantaran lambannya Realisasi Program dan Proyek Fisik.

“Biasanya, penyerapan APBD yang rendah disebabkan oleh keterlambatan pelaksanaan kegiatan fisik, seperti proyek infrastruktur, pengadaan barang/jasa, hingga hibah dan bantuan sosial,” ungkap Monic.

Ia menambahkan, terdapat faktor penyebab teknis yang umumnya terjadi. Diantaranya, proses lelang terlambat (biasanya molor hingga pertengahan tahun anggaran). Perubahan kebijakan dan peraturan di tengah tahun (misalnya revisi Perkada atau DPA).

Baca Juga  Petani Rumput Laut Bangun Resi Gudang untuk Pasang Kuda-Kuda Ekspor

Keterlambatan SKPD dalam menyusun administrasi pencairan anggaran, juga menjadi penyebanya. Masalah teknis di lapangan, seperti cuaca, sengketa lahan, atau revisi perencanaan proyek.

Akibatnya, dana yang seharusnya disalurkan untuk program publik belum bisa dicairkan, lalu “parkir” sementara di rekening deposito Bank Jatim agar tidak menganggur tanpa menghasilkan bunga.

Monic juga menilai, lambannya kinerja Serapan SKPD dan Manajemen Keuangan Daerah. Bila dana Rp 900 miliar baru “parkir” pada Agustus–Desember 2024, itu menunjukkan bahwa hingga pertengahan tahun, serapan APBD masih rendah.

“Serapan rendah mencerminkan perencanaan program kurang matang di awal tahun. Koordinasi antar-OPD lemah, terutama dalam sinkronisasi kegiatan fisik dan administrasi. Dan kinerja penyerapan belanja modal rendah, sementara belanja pegawai dan operasional biasanya terserap lebih dulu,” ujarnya.

Menurut laporan BPK dan evaluasi Kemendagri, Sidoarjo dalam beberapa tahun terakhir memang berulang kali memiliki SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) yang besar. Artinya belanja publik tidak optimal.

Parkir dana APBD yang kelewat lama itu entah disengaja maupun tidak, menurut Monic, berdampak langsung terhadap publik Sidoarjo.

“Penyerapan yang lamban ini berimplikasi langsung terhadap pelayanan masyarakat, antara lain proyek infrastruktur (jalan, irigasi, pasar) tertunda. Bantuan sosial dan hibah ke masyarakat molor realisasinya. Dunia usaha lokal tidak segera mendapat efek perputaran uang APBD,” tandas Monic.

Masyarakat pun bisa menilai bahwa “uang rakyat tidak bekerja tepat waktu”, sementara bunga deposito Rp 14 miliar lebih, meski resmi masuk PAD bila transparan, bukan bentuk manfaat langsung bagi publik.

Dalam konteks good governance, menurutnya, kondisi ini perlu penjelasan resmi dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Sidoarjo, penjelasan dari Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), dan Komisi C DPRD Sidoarjo yang membidangi keuangan daerah.

Baca Juga  Skandal Kredit Fiktif Bank Jatim Rp569 M! DPRD Jatim Desak Ganti Seluruh Direksi & Komisaris

Kesimpulan analisa Monic, keterlambatan serapan APBD Sidoarjo hingga dana Rp 900 miliar terparkir lama di Bank Jatim, bukan semata persoalan teknis, melainkan indikasi lemahnya manajemen fiskal dan perencanaan lintas-SKPD.

Bunga deposito Rp 14 miliar lebih hanyalah efek samping finansial, tetapi tidak menggantikan nilai manfaat publik yang hilang akibat penundaan belanja.