Jumlah Korban Memprihatinkan, Kominfo dan JOSS Bangun Gerakan Cerdas Tangkal Hoaks Bagi Siswa SMP di Sidoarjo

Pelajar Sidoarjo tangkal Hoaks
Gerakan Kominfo dan JOSS perkuat literasi digital pelajar Sidoarjo tangkal hoaks dan membangun budaya media sosial yang sehat dan cerdas. Foro: Istimewa
Ruang Nurudin
Ruang Nurudin
Print PDF

Sidoarjo, Ruang.co.id — Topik menangkal informasi hoaks di sosial media, menjadi perhatian yang sangat menarik bagi siswi SMP Negeri 1 Sidoarjo. Setidaknya ada 6 siswa masing – masing dari kelas 7 dan kelas 8 yang tergabung dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), antusias interaktif mengemukakan pendapatnya dan bertanya seputar hoaks kepada para narasumber pemateri.

Mereka berlomba berebut mikrofon atau pengeras suara, untuk bertanya, dan bila waktu kegiatan tidak membatasi, mungkin puluhan siswa mencecar pertanyaan kepada para pemateri.

Pertanyaan – pertanyaan yang mereka lontarkan, bukanlah hal yang ringan atau enteng. Pertanyaan seputar peristiwa – peristiwa politik dalam satu dekade kepemimpinan nasional belakangan, yang beredar luas dan bebas di sosial media, dan pemberitaan media Pers arus utama terbaca lewat laman gawainya. Pertanyaan itu, kualitasnya setara pertanyaan siswa SMA maupun yang sederajat.

Ini selaras dengan upaya Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Sidoarjo bersama organisasi profesi jurnalis bernama Jurnalis Online Siber Sidoarjo (JOSS), dalam memperkuat ketahanan informasi di kalangan pelajar.

Melalui kegiatan Jumpa Pers 2025 yang digencarkan, bertemakan ā€œKlik Cerdas Tanpa Bias: Kolaborasi Kominfo dan Jejaring Pers untuk Menangkal Hoaksā€.

Kegiatan ini, berlangsung di Aula Laboratorium Matematika SMP Negeri 1 Sidoarjo, Kamis (20/11/2025).

Sebanyak 100 pelajar pengurus OSIS yang mengikuti dan mendapat pembekalan langsung dari pemateri profesional lintas lembaga, dengan fokus utama membangun literasi digital. Sebagian dari peserta, aktivis pengelola media jurnal internal siswa sekolah.

Kepala SMPN 1 Sidoarjo, Matnuri, S.Pd., M.Pd., yang membuka kegiatan sosialisasi dan pembekalan menangkal informasi hoaks pada sosial media.

Tentu saja kegiatan sosialisasi perdana terhadap pelajar ini, menghadirkan narasumber yang berkualitas dan profesional di bidangnya masing – masing. Mereka antara lain Zahlul Yussar, S.I.Kom., dari Sekretaris Komisi D DPRD Kab. Sidoarjo, yang juga membidangi dunia pendidikan.

Dinda Bestari, narasumber dari staf Diskominfo Kabupaten Sidoarjo, yang sering mendampingi para wartawan Sidoarjo di setiap kegiatannya. Narasumber pemateri ketiga, Agus Susilo, SE., Ketua Jurnalis Online Siber Sidoarjo (JOSS), yang sudah belasan tahun menjadi dan banyak ā€œmakan manis madu dan asam garamā€ sebagai wartawan.

Baca Juga  Rutinan Banjir Ngaban: Kades Minta Pompa Air, Komisi D DPRD Sidoarjo Usut Bangli dan Normalisasi Sungai

Pemaparan Zahlul Yussar, menegaskan bahwa hoaks bukan hanya kabar bohong, tetapi ancaman serius yang dapat memecah belah masyarakat, terutama dalam kehidupan politik di Sidoarjo.

ā€œJika kita tidak cerdas dan cermat dalam menyeleksi segala informasi situasi politik di Sidoarjo, tentunya adik – adik akan termakan informasi hoaks di sosial media di gawai kalian. Langkah pertama dalam mencegah hoaks, adalah bersikap kritis terhadap setiap informasi yang diterima, terutama yang berisi judul sensasional, provokatif, atau berlebihan,ā€ ujar legislator muda, yang langsung disambut riuh tepuk tangan para pelajar.

Lebih jauh Ia menjelaskan bahwa pelajar wajib mengenali tanda-tanda informasi palsu, mulai dari tidak adanya data pendukung hingga sumber anonim yang tidak jelas kredibilitasnya.

Ia menambahkan bahwa verifikasi silang harus menjadi kebiasaan, termasuk menggunakan kanal cek fakta dari Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), salah satu mitra Kominfo, dan sumber dari Kominfo sendiri, atau dari media Pers arus utama yang terpercaya.

ā€œDengan kebiasaan mengecek, berpikir kritis, dan tidak mudah terprovokasi, masyarakat dapat berperan aktif menghentikan penyebaran hoaks dan menjaga ruang digital tetap sehat serta informatif,ā€ pungkas paparan Yussar.

Sementara itu, narasumber Diskominfo Sidoarjo, Dinda Bestari, menggarisbawahi bahwa literasi digital merupakan bagian penting dalam membentuk generasi yang adaptif dan cerdas dalam menyaring informasi.

Dalam pemaparannya, Dinda menekankan komitmen pemerintah daerah untuk memberikan edukasi berkelanjutan di sekolah-sekolah.

ā€œHarapan Pemkab, pengguna media digital atau sosial media terutama di tingkat pelajar untuk berpikir cerdas, guna mengubah masyarakat dari konsumen pasif menjadi masyarakat yang kritis, waspada, dan berpengetahuan luas,ā€ ujarnya, kembali disambut tepuk tangan peserta.

Dinda juga menyinggung pentingnya perlindungan data pribadi dan kewaspadaan terhadap disrupsi informasi di era digital.

Yang cukup mengejutkan jumlahnya menghawatirkan terus meningkat, data dari Kementerian Kominfo (Tahap N 2024), sepanjang tahun 2024 terdapat 1.878 konten hoaks nasional yang terverifikasi.

Sementara pada Oktober 2025, jumlah itu meningkat 21% menjadi 2.273 konten hoaks nasional. Kebanyakan terjadi di media WhatsApp (38%), Facebook (26%), dan TikTok (18%).

Di Kabupaten Sidoarjo sendiri, Diskominfo mencatat sekitar 386 laporan hoaks sepanjang 2025, angkanya naik dari 319 kasus pada 2024.

Baca Juga  Jihad Digital Pemkab Sidoarjo: OPD Adu Kreativitas di Medsos untuk Pelayanan Publik Humanis

Sosial media yang paling sering menjadi sarang hoaks (Ranking Nasional 2025), menurut laporan Kominfo dan MAFINDO 2025, urutan platform digital paling berpotensi menyebarkan hoaks antara lain, WhatsApp (41%); Facebook/ FB (27%); TikTok (16%); Instagram (9%), X/Twitter (5%), YouTube dan Telegram (2%).

Sosial media, menjadi tempat ideal bagi hoaks, karena: Siapa pun bisa membuat dan menyebarkan pesan tanpa dicek; Orang mudah percaya pada ā€œtemanā€ atau ā€œakun lucuā€; Algoritma yang kini beranggapan sebagai ā€œSang Pemberi Rejekiā€ bermedia sosial, lebih sering menampilkan konten viral, bukan konten benar.

Lalu siapa Penyebar Hoaks? Berdasarkan riset Digital Literacy Index 2025, secara nasional usia penyebar hoaks terbanyak adalah: Usia 25–40 tahun(42%); Usia 18–24 tahun (27%); Usia 41–55 tahun (20%); Usia di bawah 18 tahun, termasuk pelajar (11%).

Sedangkan di Sidoarjo, kelompok usia remaja sekolah (13–18 tahun) berperan sekitar 14% dari total penyebar hoaks daerah — sebagian besar karena iseng atau tidak tahu bahwa informasi/ berita yang dibagikan belum terverifikasi.

Kemudian siapa korban konten hoaks? Berdasarkan grafik nasional 2025, korban hoaks tertinggi berasal dari usia: Usia 31–50 tahun (40%); Usia 18–30 tahun (33%); Usia di bawah 18 tahun, anak sekolah SD–SMA (15%); dan Usia di atas 50 tahun (12%).

Menariknya, di Sidoarjo, korban anak sekolah meningkat dari 9% di 2024 menjadi 17% di 2025. Ini menunjukkan bahwa anak-anak sekolah juga sangat rentan karena sering menonton video singkat, membaca komentar lucu, lalu langsung percaya.

Atas dasar itu, Diskominfo menggandeng organisasi profesi wartawan serta DPRD, untuk memperkuat kampanye anti-hoaks, agar mampu menjangkau generasi Z secara lebih efektif dan dapat menekan jumlah pembuat dan penyebaran konten hoaks. Karena mereka ini generasi masa depan bangsa, dan wajib disiapkan sebagai pemimpin di generasi emas mendatang.

Tidak hanya sebatas penyebaran informasi hoaks di sosial media, Ketua JOSS, Agus Susilo, dalam sesinya mempertegas bahwa etika digital menjadi benteng utama dalam mencegah hoaks menyebar begitu cepat di ruang maya.

Baca Juga  Rutinan Banjir Ngaban: Kades Minta Pompa Air, Komisi D DPRD Sidoarjo Usut Bangli dan Normalisasi Sungai

ā€œDisadari atau tidak, media sosial bagian dari kehidupan kita. Bagaimana kita menyikapinya dengan bijak untuk menangkal hoaks, yaitu dengan membangun etika bermedia sosial,ā€ ujarnya.

Agus menjelaskan bahwa pelajar harus memahami konsekuensi moral dan sosial dari setiap unggahan yang mereka bagikan.

Ia mengingatkan bahwa setiap orang wajib menimbang dampak positif maupun negatif dari informasi sebelum membagikannya kepada orang lain.

ā€œYang paling penting bagi kita, kita saring dulu segala informasi yang kita dapat sebelum kita bagikan dan kita sebarluaskan, dengan cara mencari sumber-sumbernya yang valid dan terpercaya,ā€ imbuhnya disambut tepuk tangan meriah.

Agus juga mengingatkan bahwa produk Pers memiliki tanggung jawab etik lebih kuat dibanding konten sosial media yang secara resmi tanpa dilengkapi dengan kode etik.

Ia menjelaskan bahwa kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Pers (No.40 tahun 1999), menjadi dasar kepercayaan publik terhadap media Pers profesional.

ā€œKenapa produk Pers sebagai pintu terakhir kepercayaan masyarakat, karena media Pers dan wartawannya itu mempunyai kode etik, yang senantiasa wajib dijalankan setiap pekerjaannya. Dalam kode etik dan undang-undang khusus yang mengatur pers, ada konsekuensi sanksi dan hukum yang jauh lebih berat, jika pers tidak mengindahkannya. Belum lagi sanksi sosial masyarakat,ā€ ungkap Agus.

Menurutnya, hal tersebutlah yang membedakan jurnalisme profesional dari konten digital biasa. ā€œInilah yang membedakan produk jurnalistik atau produk pers dengan produk konten media sosial,ā€ pungkasnya.

Kegiatan ini menjadi momentum penting, untuk membangun budaya digital yang sehat dan bijak di kalangan generasi muda dan generasi Z.

Para pelajar tidak hanya belajar memahami bahaya hoaks, tetapi juga dilatih menjadi agen perubahan melalui kebiasaan berpikir kritis, memeriksa sumber, dan mengedepankan etika digital.

Hingga para peserta meninggalkan aula dengan pemahaman baru dari para pemateri, bahwa melawan hoaks bukan bukan hanya tugas pemerintah atau media Pers, melainkan tanggung jawab semua individu diri kita.

Dengan bekal edukasi ini, semangat ā€œSaring sebelum Shareā€ kembali digaungkan sebagai pesan moral setiap kali jari menyentuh layar gawai di tangan kita.