Sidoarjo, Ruang.co.id – Konflik internal di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU, juga berdampak pada daerah – daerah. Di Sidoarjo, Jawa Timur, KH. M. Zainal Abidin,M.Pd., Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang/ PC NU Sidoarjo, merasa kebingungan untuk memilihnya. Ia lebih memilih menunggu hasil keputusan terbanyak para kyai, dan mungkin sepertinya cenderung lebih memilih ketua tanfiziyah hasil muktamar katimbang keputusan Syuriyah PBNU, dalam memilih Ketua PBNU sekarang.
“Pokok’e milihe, milih Nang nggene poro kyai (pokoknya memilihnya, memilih pada para Kyai,” ujar Kyai Zainal kepada Ruang.co.id, saat menghadiri acara Pelantikan Akbar PAC dan Sayap Gerindra Sidoarjo, di Ballroom sebuah hotel di kawasan raya Jenggolo Kota Sidoarjo, Minggu (14/12/2025).
Jikalau lebih memilih nggene poro kyai, apakah mengikuti keputusan Syuriyah yakni tempatnya para pemimpin kyai tertinggi dalam menetapkan kebijakan? “Nggih mboten, pokok’e milih poro kyai (ya bukan begitu, pokoknya memilih para kyai),” jawab Kyai Zainal lagi.
Ini merupakan jawaban yang cukup membingungkan atau semacam ambiguitas. Namun buru – buru Ketua Tanfidziyah PCNU Sidoarjo menegaskan dan mengimbau kepada warga NU Sidoarjo, agar tetap menunggu jawaban hasil keputusan terbaik para kyai dalam menentukan sikapnya.
“Kita tetap menunggu perkembangan yang ada. Saya tidak bisa jawab, kita ini orang kecil, nunggu perkembangan secara nasional, sing penting maslahah dan (ber)manfaat, itu kata kuncinya,” pinta seruan Kyai Zainal.
Perselisihan di tubuh PBNU memang masih belum reda, tersepakati apakah tetap memilih Dr. (HC) KH. Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum PBNU hasil Muktamar, ataukah memilih KH. Zuda Mustofa (PJ) dari hasil keputusan poro Kyai dewan Syuriyah PBNU.
Perselisihan ini juga memicu dan memunculkan Forum Kiai Nahdlatul Ulama (NU) Jawa, yang menuntut Musyawarah Luar Biasa (MLB) pemilihan Ketua Umum PBNU.
Mereka menyatakan akan membentuk kepengurusan PBNU tandingan, apabila Musyawarah Luar Biasa (MLB) tidak digelar dalam waktu tiga bulan ke depan.
Koordinator Forum Kiai NU Jawa, Faris Fuad Hasyim, yang menyampaikannya dalam konferensi pers di Bandung, Jawa Barat, mengutip inilah.com di Jakarta, Sabtu kemarin (13/12/2025).
Konflik antara Syuriyah dengan Tanfidziyah PBNU memuncak, lantaran Beberapa pihak menuduh PBNU saat ini terlalu dekat dengan kekuasaan politik tertentu, atau terlalu terlibat dalam politik praktis, sehingga menyimpang dari Khittah 1926 (netralitas politik organisasi). Kelompok tandingan ini sering mengklaim ingin mengembalikan NU ke jalur khittah yang murni.
Konon, ketidakpuasan juga muncul terkait pengelolaan aset dan sumber daya finansial NU. Beberapa diantaranya terkait Transparansi Keuangan. Ada tuntutan dari kelompok oposisi agar manajemen aset-aset besar NU (misalnya universitas, rumah sakit, dan lembaga ekonomi) dikelola lebih transparan dan tidak hanya dikuasai oleh kelompok tertentu di dalam kepengurusan PBNU.
Para kiai sepuh (kiai khos) dan Mustasyar (dewan penasihat) PBNU, memiliki peran penting dan mencoba menjadi mediator untuk mengakhiri perselisihan tanpa menciptakan dualisme.
Posisi Kiai Sepuh umumnya mengakui bahwa Ketua Umum (Gus Yahya) melakukan pelanggaran serius, tetapi mereka juga sepakat bahwa upaya pemakzulan atau penunjukan Pj. Ketua Umum tidak sesuai dengan AD/ART NU.
Beberapa Tokoh Penting yang turun tangan adalah Mustasyar PBNU KH. Ma’ruf Amin (mantan Wapres), yang secara terbuka menyatakan bahwa penunjukan Pj. Ketum itu tidak sah dan melanggar tradisi NU.
Sedangkan kyai sepuh lainnya mendorong Islah (perdamaian), dan meminta PBNU fokus pada penanganan kebencanaan nasional, alih-alih konflik.
Isu “NU Tandingan“, seringkali datang dari perwakilan tokoh senior atau kyai khos (kyai sepuh), yang secara terbuka mengkritik PBNU. Pastinya, tokoh – tokoh yang merasa tidak terakomodir dan tidak terakomodasi dalam kepengurusan resmi PBNU, atau memiliki pandangan yang sangat berbeda sering menjadi leading figure (tokoh utama) di balik gerakan tandingan.
Wadah Kritis/Alternatif mereka tempuh, daripada langsung mendeklarasikan organisasi baru. Mereka biasanya membentuk wadah diskusi, gerakan moral, atau perkumpulan kyai yang secara implisit mengkritik PBNU.
Namun, media dan publik sering menganggap ini sebagai upaya “NU Tandingan”, karena mereka menolak kepemimpinan resmi.
Secara institusional, tidak ada organisasi yang diakui secara hukum sebagai NU yang sah selain yang dipimpin oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Isu “NU Tandingan” lebih merupakan fenomena politik dan kritik internal yang muncul, karena adanya ketidakpuasan signifikan dari pihak-pihak tertentu terhadap kepemimpinan, hasil Muktamar, atau arah politik PBNU saat ini. Gerakan-gerakan ini mencoba menarik legitimasi dari sejarah, kyai sepuh, dan klaim pengembalian khittah NU.

