Sidoarjo, Ruang.co.id ā Dana BOSDA (Bantuan Operasional Sekolah Daerah) senilai Rp 153.782.919.000 yang digelontorkan untuk tahun 2025 menuai sorotan tajam dari Komisi D DPRD Kabupaten Sidoarjo. Dalam rapat dengar pendapat bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) yang digelar Rabu (14/5), para legislator secara tegas meminta agar pengelolaan dana BOSDA lebih tepat sasaran, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan demi menjamin pemerataan akses pendidikan.
Ketua Komisi D, Dhamroni Chudlori, bersama Wakil Ketua Bangun Winarsa dan para anggota seperti H. Usman, Pujiono, dan Fitrotin Hasanah, secara kompak mendesak agar sistem pengelolaan BOSDA dievaluasi. Mereka menyoroti masih adanya ketimpangan antara sekolah negeri dan swasta, serta banyaknya dana yang tidak terserap setiap tahunnya.
Data resmi menunjukkan, sejak tahun 2023, sisa anggaran BOSDA mencapai miliaran rupiah. Pada 2023, sisa dana mencapai Rp 7 miliar dari dana tahun 2023 sebesar Rp. 154.579.176.000, tahun 2024 sebesar Rp 5 miliar dari dana tahun 2024 Rp. 152.792.934.000, dan pada 2025 tercatat Rp 2 miliar belum tersalurkan.
Situasi ini dinilai ironis oleh para wakil rakyat, mengingat masih banyak sekolah di Sidoarjo yang kekurangan fasilitas, guru tidak tetap yang belum mendapat insentif layak, hingga pembangunan fisik sekolah yang terbengkalai karena keterbatasan anggaran.
Komisi D menyayangkan dana sisa BOSDA yang seharusnya bisa disalurkan untuk peningkatan mutu pendidikan justru mengendap tanpa kejelasan.
Wakil Ketua Komisi D, Bangun Winarsa, mengkritisi ketimpangan bantuan BOSDA yang masih terjadi. Ia mencontohkan adanya sekolah swasta dengan jumlah siswa banyak dan SPP tinggi yang tetap menerima dana BOSDA dalam jumlah besar, sementara sekolah negeri dengan jumlah siswa sedikit justru kesulitan berkembang. Hal ini menurutnya mencederai rasa keadilan masyarakat.
Sementara itu, anggota Komisi D lainnya, H. Usman, menyoroti kendala lapangan yang dialami sekolah-sekolah. Ia menyampaikan contoh konkret seperti SMP 2 Sedati yang tidak mampu membongkar jembatan karena tidak bisa mengalihkan dana BOSDA untuk kegiatan fisik. Usman berharap adanya terobosan regulasi agar BOSDA tidak hanya terbatas untuk operasional, tetapi juga bisa membantu kebutuhan riil sekolah di lapangan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sidoarjo, Dr. Tirto Adi, merespons masukan ini dengan terbuka. Ia menyatakan siap merevisi skema penyaluran BOSDA dan menyepakati pendekatan baru. Menurutnya, prinsip keadilan tidak selalu berarti sama rata, melainkan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing sekolah. Ia membuka kemungkinan perubahan pendekatan dari keadilan distributif menuju keadilan komulatif.
Dorongan Komisi D ini menjadi sinyal kuat bahwa pengelolaan anggaran pendidikan tidak boleh lagi bersifat administratif semata, melainkan harus mengakar pada realita dan kebutuhan di lapangan. Publik, terutama generasi muda dan para orang tua, patut mengawal isu ini sebagai bentuk kepedulian terhadap masa depan pendidikan.
Momentum hearing ini bukan sekadar agenda rutin legislatif, tetapi menjadi titik tolak penting untuk mengubah paradigma pengelolaan dana BOSDA agar lebih manusiawi, adil, dan berdampak nyata. Karena sejatinya, setiap rupiah dari BOSDA adalah investasi masa depan bangsa.

