AKAMSI Soroti Ikan Mati Massal di Kali Surabaya Akibat Pencemaran Ekstrim

AKAMSI soroti Pencemaran limbah industri
AKAMSI temukan pencemaran limbah dan mikroplastik pemicu ikan mati massal di Kali Surabaya. Desak Gubernur Jatim bertindak. Foto: Istimewa
Ruang Nurudin
Ruang Nurudin
Print PDF

Ruang.co.id — Aliansi Komunitas Penyelamat Bantaran Sungai (AKAMSI) mendesak Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa segera mengusut tuntas penyebab matinya ikan secara massal di aliran Kali Surabaya yang melintasi Desa Wringinanom, Kec. Wringinanom, Gresik. Desakan itu disampaikan usai aksi damai dan penyerahan laporan resmi hasil investigasi lapangan yang menunjukkan kondisi kritis sungai akibat pencemaran dan pelanggaran tata ruang secara masif, Rabu (21/5).

AKAMSI —yang terdiri dari ECOTON, AksiBiroe, dan Surabaya River Revolution—membawa bukti nyata pelanggaran hukum lingkungan dan degradasi ekosistem Kali Surabaya. Dalam laporannya, tercatat 4.641 bangunan ilegal berdiri di sempadan sungai sepanjang 2015–2025, telah melanggar ketentuan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, yang menyebutkan sempadan sungai harus bebas dari bangunan permanen dan berfungsi sebagai kawasan resapan serta pengaman ekosistem.

“Bangunan liar ini bukan hanya soal melanggar aturan tata ruang. Ini adalah wujud gemblang dari ketidakpeduliannya sistem terhadap kondisi sungai,” ujar Rio Ardiansa, perwakilan AKAMSI.

Tak hanya itu, AKAMSI mengungkap temuan mikroplastik dalam organisme sungai seperti plankton, udang, dan kepiting. Jenis fiber mendominasi seluruh sampel, dengan konsentrasi tertinggi di wilayah hilir.

Hasil uji laboratorium menggunakan spektroskopi FTIR menunjukkan keberadaan polimer berbahaya seperti Polyethylene (PE), Polypropylene (PP), dan PET — indikasi kuat bahwa limbah rumah tangga dan industri menjadi sumber utama pencemaran.

Baca Juga  Surabaya Garap Ekosistem Perlindungan Anak Berbasis Komunitas

Ilham, peneliti mikroplastik dari AKAMSI, menyatakan, “Semakin banyaknya organisme perairan yang terpapar oleh mikroplastik, dapat disimpulkan kondisi ini disebabkan kondisi Kali Surabaya yang terabaikan. Karena itu, kita harus siap akan dampaknya saat mikroplastik masuk ke tubuh ikan, lalu dikonsumsi oleh kita.”

Kondisi air juga semakin memburuk. Dari segmen hulu ke hilir, kadar oksigen terlarut (DO) turun drastis dari 4,69 mg/L menjadi 1,95 mg/L, melampaui ambang batas minimal kualitas air.

Suhu meningkat dan vegetasi sempadan nyaris hilang, digantikan oleh beton dan permukiman liar. Sementara itu, nilai indeks biotik menandai kualitas sungai dari “sehat” di hulu menjadi “tidak sehat” di hilir.

Kondisi itu makin parah dengan buruknya sistem pengelolaan sampah desa. Sebanyak 33,3% wilayah tidak memiliki tempat penampungan sampah (TPS), dan 86,67% desa masih membakar sampah secara terbuka.

Baca Juga  Dari Harkitnas ke Masa Depan, Surabaya Siap Cetak Generasi Unggul

Hal ini menyebabkan warga membuang sampah langsung ke sungai, mempercepat degradasi kualitas air dan memicu kematian massal ikan.

Teranyar, kejadian ikan mati massal kembali terjadi di Desa Wringinanom, Gresik, hanya dua hari sebelum aksi. Fenomena tahunan ini menimbulkan bau menyengat dan keresahan warga, namun hingga kini tak pernah ada investigasi tuntas dari pihak berwenang.

AKAMSI menuntut enam langkah konkrit, yakni penertiban seluruh bangunan ilegal di sempadan Kali Surabaya, restorasi ekologis sempadan, sistem pengelolaan sampah terpadu di seluruh desa dalam daerah aliran sungai (DAS), monitoring kualitas air secara berkala dan terbuka, investigasi menyeluruh atas kematian ikan massal, dan penerbitan Peraturan Gubernur tentang perlindungan sempadan sungai.

Aliansi ini mengingatkan, jika tidak ada tindakan nyata, Kali Surabaya hanya akan menjadi saluran limbah raksasa yang membunuh kehidupan, alih-alih menjadi sumber air bersih dan kehidupan warga.