Sidoarjo, Ruang.co.id ā Suara gemuruh gamelan mengisi setiap sudut Pendopo Delta Wibawa pada Minggu pagi (27/07/2025), menciptakan gelombang resonansi yang tidak hanya terdengar oleh telinga, tetapi juga merasuk ke dalam sanubari setiap penonton. Festival Gamelan Sidoarjo bukan sekadar perhelatan seni biasa, melainkan sebuah pernyataan tegas tentang komitmen kolektif dalam merawat warisan budaya yang menjadi napas kebanggaan daerah. Pembukaan acara yang diresmikan oleh Wakil Bupati Sidoarjo, Hj. Mimik Idayana, menjadi momen simbolis yang mengukuhkan gamelan sebagai bahasa pemersatu bangsa, sekaligus wadah toleransi beragama dan penguatan seni budaya.
Dalam sambutannya yang penuh semangat, Wabup Mimik menegaskan tekadnya untuk terus mendukung setiap upaya pelestarian seni dan budaya di Kabupaten Sidoarjo. Tepuk tangan riuh dari para pegiat seni, pelajar, dan masyarakat yang memadati pendopo menjadi bukti nyata bahwa pesannya menyentuh hati banyak orang. Ia tidak hanya berbicara sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas yang mencintai tradisi. Rasa bangganya kepada Dewan Kesenian dan seluruh pelaku seni Sidoarjo terungkap jelas, terutama atas dedikasi mereka dalam menjaga warisan budaya tetap hidup di tengah arus modernisasi. Harapannya agar festival ini menjadi agenda tahunan bukan sekadar wacana, melainkan sebuah janji untuk memastikan regenerasi budaya berjalan berkelanjutan.
Kehadiran Wabup Mimik tidak hanya sebagai pembuka acara, tetapi juga sebagai pelaku seni yang aktif terlibat. Ia membawakan tembang Macapat Dandhang Gula Laras Slendro, sebuah karya yang sarat makna tentang pentingnya merawat bumi Jenggala, tanah yang menjadi akar sejarah Sidoarjo. Momen puncak lainnya adalah ketika ia menyerahkan Gunungan kepada dalang cilik, Ki Mulki Aiman Dharma Anugrah dari SMP YPM Taman. Prosesi ini bukan sekadar seremonial, melainkan simbol nyata dari regenerasi budaya, di mana estafet pengetahuan dan kecintaan terhadap seni tradisi diwariskan kepada generasi muda.
Festival ini menjadi bukti bahwa gamelan bukanlah artefak mati yang terkurung di masa lalu, melainkan sesuatu yang hidup dan terus berdenyut dalam jiwa generasi baru. Lebih dari 1.000 warga yang bersama-sama menyanyikan macapat Gagrak Sidoarjo dan 300 peserta lomba karawitan dari berbagai sekolah menunjukkan bahwa seni tradisi masih memiliki tempat istimewa di hati masyarakat. Mereka bukan hanya penonton, tetapi bagian dari proses kreatif yang menjaga warisan ini tetap relevan.
Akhirnya, festival gamelan ini bukanlah titik akhir, melainkan sebuah awal dari perjalanan panjang. Ketika nada-nada gamelan berpadu dengan semangat generasi muda, Sidoarjo tidak hanya sekadar menjaga warisan leluhur, tetapi juga membangun masa depan yang penuh harmoni dan toleransi. Gamelan menjadi medium yang menyatukan berbagai elemen masyarakat, melampaui batas usia, agama, dan latar belakang sosial. Inilah kekuatan seni yang sejatiātidak hanya indah didengar, tetapi juga mampu menciptakan ruang di mana kebhinekaan menemukan irama yang sama.

