Kehebohan HGB di Laut Surabaya-Sidoarjo, Drama Tata Ruang yang Memantik Perhatian DPRD Jatim

HGB laut Surabaya-Sidoarjo
Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Deni Wicaksono, angkat bicara soal Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 656 hektar di laut perbatasan Surabaya-Sidoarjo memicu kontroversi. DPRD Jatim mendesak investigasi serius untuk melindungi lingkungan dan masyarakat pesisir.
Ruang Gentur
Ruang Gentur
Print PDF

Surabaya, Ruang.co.id – Sorotan tajam tengah mengarah ke perairan Surabaya-Sidoarjo setelah kabar mencuat soal Hak Guna Bangunan (HGB) yang nongkrong santai di atas laut. HGB ini, yang mencakup lahan seluas 656 hektar, dianggap menabrak aturan tata ruang hingga melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ya, siapa sangka, laut yang seharusnya tenang kini jadi medan drama perizinan.

Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Deni Wicaksono, langsung bereaksi keras. “Kami akan segera memanggil Pemprov Jatim dan BPN Jatim untuk meminta penjelasan tentang masalah ini,” tegas Deni, penuh semangat. Menurutnya, jika dokumen Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) tak ada, maka penerbitan HGB tersebut tak ubahnya izin yang datang dari planet lain.

Deni juga mengingatkan, Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 secara tegas melarang HGB di perairan laut. “Kawasan mangrove yang seharusnya menjadi pelindung ekosistem malah terancam oleh proyek-proyek yang hanya menguntungkan segelintir pihak,” tambahnya.

Dari hasil penelusuran di situs resmi ATR/BPN, ditemukan dua bidang tanah mencurigakan di kawasan tersebut. Dengan luas mencengangkan hingga jutaan meter persegi, bidang tanah ini ternyata dimiliki oleh dua perusahaan besar: PT Surya Inti Permata dan PT Semeru Cemerlang. Tak tanggung-tanggung, izin HGB ini sudah diterbitkan sejak 1996 dan berlaku hingga 2026. Namun, baru-baru ini isu ini kembali mencuat berkat unggahan akademisi Universitas Airlangga, Thanthowy, yang menyebutkan koordinat HGB tersebut berada tepat di atas laut.

Dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Jawa Timur, area ini sebenarnya masuk dalam zona perikanan dan konservasi mangrove. Tapi, jika reklamasi tetap dilakukan, dampaknya bisa sangat mengerikan. Mulai dari hancurnya ekosistem laut hingga hilangnya penghidupan masyarakat pesisir.

Baca Juga  Musyafak Rouf Ditunjuk PKB Pimpin DPRD Jatim 

“Proyek seperti ini sering kali hanya menguntungkan pihak pengembang, sementara lingkungan dan masyarakat dirugikan,” ungkap Thanthowy dengan nada prihatin.

Satu hal yang pasti, DPRD Jatim tak akan membiarkan hal ini berlalu tanpa penyelidikan. “Kejelasan status kawasan ini harus segera terungkap dalam waktu dekat,” ujar Deni penuh optimisme. DPRD menegaskan, semua pihak yang terlibat akan diminta bertanggung jawab, termasuk kemungkinan pencabutan status HGB jika terbukti melanggar aturan.

HGB di laut ini bukan hanya soal izin tanah, tetapi juga menyangkut masa depan ekosistem dan tata ruang Jawa Timur. Apakah pihak terkait akan memberikan penjelasan yang memuaskan? Atau justru ini menjadi babak baru dalam polemik reklamasi? Kita tunggu saja, sembari berharap para pejabat tak hanya sibuk menyusun kronologi, tetapi juga solusi.

HGB di laut, walau tampak absurd, adalah kenyataan yang memerlukan perhatian serius. Kita hanya bisa berharap drama ini tak berakhir seperti sinetron panjang tanpa penyelesaian.