Ruang.co.id – Kebijakan terbaru Kementerian Kesehatan yang memperbolehkan Peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) untuk praktik sebagai dokter umum sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan medis. Di tengah upaya pemerintah memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, kebijakan ini justru menuai kritik tajam dari para ahli, termasuk Darwito, Direktur Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada (RSA UGM).
Mengapa Kebijakan Ini Menjadi Bumerang?
Menurut Darwito, kebijakan ini ibarat menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru. Program PPDS bukan sekadar pendidikan formal, melainkan pelatihan intensif yang menuntut dedikasi penuh. Para residen ini sudah menghabiskan 10-12 jam sehari di rumah sakit pendidikan untuk menangani pasien sekaligus mempelajari kasus-kasus kompleks.
Ditambah dengan tuntutan praktik mandiri, para PPDS dipaksa beroperasi dalam kondisi kelelahan kronis. Padahal, studi dari Konsil Kedokteran Indonesia menunjukkan bahwa dokter yang bekerja lebih dari 16 jam sehari berisiko tiga kali lipat melakukan kesalahan medis.
Dilema antara Kebutuhan dan Kualitas
Ancaman terhadap Keselamatan Pasien
Dalam wawancara eksklusif dengan Pro3 RRI, Darwito menegaskan bahwa kebijakan ini bisa menjadi ancaman serius bagi keselamatan pasien. “Ketika seorang residen harus praktik setelah seharian bekerja, kapan mereka punya waktu untuk istirahat? Kapan bisa mempelajari perkembangan terbaru dunia medis?” ujarnya.
Fakta ini diperkuat oleh data dari RSA UGM yang mencatat peningkatan near-miss incidents (hampir celaka) pada pasien yang ditangani oleh dokter dalam kondisi kelelahan.
Solusi Palsu untuk Masalah Nyata
Alih-alih menyelesaikan masalah kekurangan dokter, kebijakan ini justru berpotensi menurunkan kualitas layanan kesehatan nasional dalam jangka panjang. Darwito menawarkan solusi lebih substantif seperti percepatan program dokter layanan primer dan peningkatan kapasitas fakultas kedokteran.
Mencari Titik Temu yang Ideal
Dialog konstruktif antara Kemenkes, asosiasi rumah sakit pendidikan, dan konsil kedokteran menjadi kunci utama. Beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan antara lain sistem pengawasan ketat untuk PPDS yang ingin praktik mandiri, atau program insentif khusus sehingga mereka tidak perlu mencari penghasilan tambahan.
Kebijakan ini bagai mengobati demam dengan menimbulkan malaria. Di satu sisi ingin memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, tapi di sisi lain justru mengorbankan kualitas pendidikan dokter spesialis dan keselamatan pasien. Kolaborasi multipihak dan pendekatan berbasis data menjadi harga mati untuk menemukan solusi yang benar-benar berkelanjutan.

