Kisah Inspiratif Tunggal Teja Asmara! Dari Kegelapan Menuju Cahaya Islam yang Mencerahkan

Kisah Tunggal Teja Asmara
Tunggal Teja Asmara, mualaf inspiratif dari Surabaya, menemukan cahaya Islam setelah perjalanan hidup yang penuh liku. Foto: Istimewa
Mascim
Mascim
Print PDF

Ruang.co.id – Terkadang, cahaya kebenaran datang melalui jalan yang panjang dan berliku. Namun, bagi mereka yang mencarinya dengan hati yang tulus, Allah akan membimbingnya. Inilah kisah Tunggal Teja Asmara, seorang mualaf inspiratif dari Surabaya, yang menemukan Islam setelah melewati perjalanan hidup yang penuh liku. Kisah ini bukan hanya tentang perjalanan spiritual, tetapi juga tentang keteguhan hati dan kekuatan iman.

Angin laut Kenjeran berhembus lembut, membawa kenangan masa kecil Tunggal yang penuh perjuangan. Lahir di Surabaya pada Agustus 1983, Tunggal adalah satu-satunya anak laki-laki di antara tiga saudara perempuan: Wulan Mei Lina, Dewi Rati Kristina Wati, dan Sukma Ayu Candra. Mereka tumbuh dalam kemiskinan, di rumah kontrakan sempit berukuran 3×5 meter. Dinding kusam menjadi saksi bisu perjuangan mereka.

Meskipun hidup dalam keterbatasan, Tunggal merasa cukup. Nasi dengan garam adalah santapan sehari-hari yang mereka nikmati dengan penuh syukur. Di bawah langit malam yang kadang bertabur bintang, kadang mendung kelam, mereka tertawa bersama, berbagi cerita, dan saling menguatkan. Kisah inspiratif ini mengajarkan kita tentang arti kesederhanaan dan kebersamaan.

Ibunda Tunggal, Siti Julaika (Almarhumah), adalah keturunan seorang ulama besar, Kiai Haji Abu Aslar, putra dari Sunan Giri, salah satu Wali Songo. Namun, keputusannya menikah dengan ayah Tunggal, Sholikan, yang bukan pilihan keluarga, membuatnya terusir dari tanah kelahirannya di Blitar. Mereka memulai hidup baru di Surabaya, membangun keluarga di tengah keterbatasan.

Kehidupan di Surabaya tak mudah. Ibu bekerja sebagai buruh cuci ikan grago, sementara Ayah menjadi buruh pembuat panci di Rungkut. Penghasilan mereka nyaris tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hingga suatu hari, sekelompok orang Kristen datang membawa bantuan. Perlahan, keyakinan keluarga Tunggal mulai goyah. Perjalanan spiritual ini menunjukkan betapa rapuhnya iman ketika diuji oleh kehidupan.

Baca Juga  Jadwal Tayang Film Petaka Gunung Gede di Bioskop Surabaya Hari Ini, 11 Februari Hari Ini

Di usia 10 tahun, Tunggal sudah terbiasa mendengar doa-doa yang asing baginya. Gereja menjadi tempatnya bermain, beribadah, bahkan bolos sekolah. Ia terbuai dalam kenyamanan yang mereka tawarkan, tanpa sadar bahwa perlahan ia semakin jauh dari Islam.

Saat duduk di kelas 5 SDN Bulak Rukem Timur 258 Surabaya, Tunggal tak naik kelas karena terlalu sering menghadiri peribadatan sore hari. Ejekan teman-teman menghunjam batinku, membuatnya merasa kecil dan tak berdaya. “Mana Tuhanmu? Bisa bantu kamu naik kelas?” Pertanyaan itu mengguncang jiwanya. Pergolakan batin ini menjadi titik balik dalam hidupnya.

Saat SMP, Tunggal bertemu seorang teman bernama Agus. Ia tak pernah memaksanya kembali ke Islam, hanya menunjukkan kebaikan melalui sikapnya. Rasa ingin tahu Tunggal tumbuh. Ia mulai mendengar, membaca, dan mencari kebenaran yang selama ini samar baginya.

Suatu hari, Agus mengajaknya mondok di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Losari, Jombang. Di sana, Tunggal menemukan ketenangan. Ia belajar Al-Qur’an, hadits, dan makna Islam yang sesungguhnya. Setiap sujudnya terasa lebih dalam, setiap ayat yang dibaca menenangkan hatinya. Pondok pesantren menjadi tempat ia menemukan cahaya kebenaran.

Tunggal kembali ke Surabaya, melanjutkan sekolah di STM 45 Jojoran. Di tengah kesibukan belajar, ia mengikrarkan syahadat secara diam-diam. Agustus 2001, dengan hati yang mantap, ia bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan-Nya. Ia kembali kepada Islam, kembali ke jalan yang seharusnya dipijaknya sejak dulu.

Namun, ujian tak berhenti di situ. Keluarganya justru semakin jauh dari Islam. Ayahnya, yang selama ini bertahan, akhirnya menyerah dan mengikuti ibunya masuk Kristen. Hatinya hancur ketika adiknya dinikahkan secara sirri tanpa wali. Ia merasa Islam telah mengecewakannya, tanpa menyadari bahwa yang salah bukan agamanya, melainkan ketidaktahuannya akan hukum Islam. Kembali ke Islam adalah keputusan terberat sekaligus terindah dalam hidupnya.

Baca Juga  Ramadhan Seru di PrimeBiz Hotel Surabaya, Buka Puasa Spesial dengan Rasa Nusantara dan Promo Menarik

Hari ini, Tunggal hidup dalam ketenangan bersama keluarganya. Ia mengajarkan makna Islam yang sesungguhnya kepada istri dan anak-anaknya, agar mereka tak terjerumus ke dalam jalan yang pernah ditempuhnya dulu. Ia yakin, hidayah Allah itu seperti fajar—datang perlahan, tetapi pasti.

“Barang siapa yang dikehendaki Allah untuk diberi petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (menerima) Islam…” (QS. Al-An’am: 125)


Tunggal Teja Asmara adalah seorang mualaf inspiratif dari Surabaya yang menemukan Islam setelah melewati perjalanan hidup yang penuh liku.

Pertemuannya dengan teman bernama Agus dan pengalamannya mondok di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah menjadi titik balik dalam hidupnya.

Tunggal hidup dalam ketenangan bersama keluarganya dan mengajarkan makna Islam yang sesungguhnya kepada istri dan anak-anaknya.

Kisah ini mengajarkan tentang keteguhan hati, kekuatan iman, dan keyakinan bahwa hidayah Allah pasti datang bagi mereka yang mencarinya dengan tulus.