Surabaya, Ruang.co.id – Sorotan publik terhadap Institusi Polri makin tajam setelah serangkaian kasus penyalahgunaan senjata api (senpi) oleh oknum polisi. Mulai dari kasus polisi tembak polisi di Solok Selatan, hingga insiden tewasnya seorang siswa di Semarang yang ditembak oleh anggota polisi, memicu kekhawatiran akan integritas dan profesionalitas institusi ini.
Pengamat hukum Kota Surabaya, Sahlan Azwar, memberikan kritikan pedas terhadap Polri, mulai dari sistem perekrutan hingga persoalan dana komando. Menurutnya, ada banyak masalah mendasar yang harus segera dibenahi demi mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
Sahlan Azwar mengungkapkan keprihatinannya terhadap peran polisi yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat tetapi justru sering menciptakan ketakutan.
“Di mana ada abdi negara yang menembak, baik itu polisi tembak polisi maupun polisi menembak masyarakat. Ini aneh ya. Mestinya polisi menjadi kamtibmas, melindungi dan mengayomi masyarakat, nyatanya kok malah menembak masyarakat,” ujar Sahlan.
Ia menambahkan, “Kita meminta evaluasi secara menyeluruh. Kalau ada yang tidak lolos psikotes atau punya masalah mental, ya jangan diterima jadi polisi. Jangan karena anak seseorang atau ada uang sogokan lantas lolos. Itu jadi bom waktu nantinya.”
Budaya Setoran dan Dana Komando, Penyebab Utama Masalah
Sahlan juga menyoroti budaya setoran yang ia sebut sebagai akar masalah di tubuh Polri. Menurutnya, sistem ini membuat banyak aparat mencari “sampingan” yang sering kali melanggar hukum, seperti pemerasan hingga praktik tambang ilegal.
“Di Indonesia, ada yang namanya dana komando. Dari bawahan ke atasan, dari atasan ke atasannya lagi. Hal ini bikin aparat di lapangan terpaksa mencari cara untuk memenuhi tuntutan, bahkan kalau itu artinya melanggar batas wajar,” jelasnya.
Praktik ini, kata Sahlan, sering kali memunculkan konflik internal karena ada oknum yang merasa setoran mereka tidak dihargai. Ia mencontohkan kasus tambang emas ilegal di Solok Selatan, yang menurutnya melibatkan banyak pihak, termasuk oknum berseragam coklat dan loreng.
Persoalan senjata api juga menjadi perhatian khusus Sahlan. Ia menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap penggunaan senpi oleh anggota polisi.
“Jangan sampai polisi yang tidak stabil secara psikologis diberi senjata. Tes psikologi perlu dilakukan rutin untuk memastikan mereka dalam kondisi baik. Kalau tidak, senjata yang seharusnya untuk melindungi malah jadi alat membahayakan,” tegasnya.
Namun, Sahlan juga menekankan bahwa pembatasan penggunaan senjata tidak boleh membuat polisi lemah saat menghadapi kejahatan. “Kita nggak mau ada alasan, ‘Kami nggak bisa menangkap penjahat karena senjata kami kalah.’ Itu harus dihindari.”
Sahlan turut menyinggung hubungan antara Polri dan TNI, yang menurutnya kerap memunculkan benturan di lapangan.
“Kalau ada dua institusi dengan kekuatan besar di sebuah negara, potensi benturan pasti ada. Tapi kalau hanya mengandalkan satu institusi seperti TNI saja, itu juga berbahaya. Lihat negara-negara lain, ketika hanya ada militer, malah jadi sewenang-wenang,” jelasnya.
Ia menggarisbawahi pentingnya pengaturan kewenangan yang jelas antara Polri dan TNI untuk mencegah konflik serta menjaga keseimbangan kekuatan.
Menurut Sahlan, solusi atas berbagai permasalahan ini tidak bisa instan. Mulai dari perekrutan yang lebih ketat, penghapusan dana setoran, hingga pengawasan senjata harus dilakukan dengan serius.
“Hukum itu harus ditegakkan. Izin tambang harus diproses dengan benar, dan praktik bekingan harus dihapuskan. Kalau ini tidak dilakukan, ya masalah seperti ini akan terus terulang,” pungkasnya.