Surabaya, Ruang.co.id – Sebagai orang tua yang kerap berhadapan dengan tantangan komunikasi anak zaman sekarang, sering bertanya-tanya, “Kok dulu orang tua kita bisa ya bikin anak-anak nurut tanpa perlu banyak drama?”
Namun, ketika kita membandingkan perbedaan pola asuh zaman dulu dan sekarang, saya sadar bahwa kuncinya terletak pada cara komunikasi.
Dulu, anak-anak takut pada tatapan tajam ibu. Sekarang? Tatapan itu harus dibarengi dengan WiFi stabil supaya mereka mau mendengarkan.
Yuk, kita bahas lebih jauh apa saja beda pola asuh zama dulu dan modern ini!
Pola Asuh Zaman Dulu, Tegas Tapi Kurang Dialog
Jika kita bicara tentang pola asuh zaman dulu, satu hal yang jelas adalah kehadiran aturan tanpa banyak diskusi. “Kalau Mama bilang ‘tidak’, ya tidak!” Pernah dengar kalimat seperti itu? Orang tua zaman dulu mengutamakan kedisiplinan dan hierarki dalam keluarga.
Komunikasi yang terjadi cenderung satu arah. Anak-anak lebih sering mendengar nasihat atau teguran daripada dilibatkan dalam percakapan terbuka. Apakah ini efektif? Ya, dalam menciptakan rasa hormat dan patuh. Tapi di sisi lain, beberapa anak tumbuh dengan rasa takut mengungkapkan pendapat atau emosi mereka.
“Perbedaan keluarga zaman dulu dan sekarang terletak pada bagaimana orang tua membangun koneksi emosional dengan anak-anaknya.” Artinya, meskipun orang tua zaman dulu sukses membangun rasa tanggung jawab, seringkali mereka melupakan pentingnya komunikasi dua arah.
Pola Asuh Zaman Sekarang yang Lebih Terbuka, Tapi Rentan Konflik
Nah, sekarang kita beralih ke pola asuh zaman sekarang. Orang tua modern cenderung ingin menjadi sahabat bagi anak-anak mereka. Saya sendiri pernah mencoba metode ini, dan ternyata tidak selalu berjalan mulus. Alih-alih dihormati, anak saya malah merasa bisa “bernegosiasi” untuk tidur lebih larut hanya karena ia bilang, “Tapi, Bu, aku kan capek belajar seharian.”
Komunikasi dalam pola asuh modern lebih terbuka dan fleksibel. Anak-anak diberi ruang untuk menyampaikan pendapat, bahkan di usia yang sangat muda. Tetapi ini juga memiliki risiko: batas antara orang tua dan anak menjadi samar. Tidak jarang kita mendengar anak-anak zaman sekarang berbicara dengan nada yang lebih santai, bahkan kadang terkesan kurang sopan.
Namun, ada sisi positifnya. Pola asuh modern memungkinkan anak-anak merasa didengar dan dihargai. Mereka tumbuh dengan kepercayaan diri yang lebih baik, sekaligus kemampuan untuk berpikir kritis. Tantangannya adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara menjadi teman sekaligus tetap menjadi sosok otoritas.
Otoritas vs Kolaborasi
Jadi, apa sih sebenarnya perbedaan pola asuh zaman dulu dan sekarang? Intinya terletak pada pendekatan komunikasi. Pola asuh zaman dulu menekankan otoritas. Sedangkan, pola asuh zaman sekarang mengutamakan kolaborasi. Jika dulu orang tua mengatakan, “Kamu harus belajar supaya sukses,” kini orang tua mungkin berkata, “Apa menurutmu belajar ini bisa membantu masa depanmu?”
Perbedaan ini juga mencerminkan perubahan budaya. Di era digital, anak-anak lebih mudah mendapatkan informasi. Mereka tidak hanya mendengar dari orang tua, tetapi juga belajar dari internet, teman sebaya, bahkan media sosial. Jika orang tua tidak menyesuaikan gaya komunikasi, hubungan bisa menjadi renggang.
Pelajaran dari Kedua Pola Asuh
Meskipun ada perbedaan keluarga zaman dulu dan sekarang, sebenarnya kita bisa belajar banyak dari kedua gaya tersebut. Dari pola asuh tradisional, kita bisa mengambil nilai kedisiplinan dan rasa hormat. Sementara dari pola asuh modern, kita bisa belajar pentingnya empati dan komunikasi dua arah.
Sebagai orang tua, mungkin yang perlu kita lakukan adalah menggabungkan keduanya. Tidak apa-apa menjadi orang tua yang tegas, tetapi jangan lupa untuk mendengarkan. Dan tentu saja, tetap siapkan WiFi yang stabil agar negosiasi lebih lancar (karena, ya, anak-anak zaman sekarang memang beda level!).
Dalam memahami perbedaan pola asuh zaman dulu dan zaman modern, kita tidak perlu memihak. Sebaliknya, mari kita ambil yang terbaik dari keduanya untuk menciptakan generasi yang lebih baik.
Karena pada akhirnya, yang terpenting bukanlah siapa yang benar, tetapi bagaimana kita bisa menjadi orang tua yang memberikan kasih sayang, arahan, dan kepercayaan untuk anak-anak kita.