Soal IMB/ PBG Ponpes, Praktisi Hukum Achmad Shodiq PHN “Pesantren Tak Pernah Melawan Hukum, Tapi Justru Jadi Korban Aturan Administratif”

pesantren dan hukum
Praktisi Hukum Achmad Shodiq, SH., MH., M.Kn., advokat Palenggahan Hukum Nusantara (PHN) memberikan pandangan Pesantren lahir dari ketaatan hukum moral, tapi kerap dianggap melanggar aturan administratif negara. Foto: Istimewa (Dok)
Ruang Nurudin
Ruang Nurudin
Print PDF

Sidoarjo, Ruang.co.id – “Banyak pesantren dicap salah, padahal merekalah yang paling patuh terhadap hukum”. Kalimat ini diucapkan lugas oleh Achmad Shodiq, SH., MH., M.Kn., advokat Palenggahan Hukum Nusantara (PHN), saat menanggapi polemik perizinan bangunan pondok pesantren yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan, salah satunya Ponpes Al Khoziny.

Menurut Shodiq, pandangan publik kerap keliru menilai. Pesantren tidak menolak aturan negara, tetapi sering kali sistem administratif belum memberi ruang adil terhadap lembaga yang tumbuh dari sejarah sosial panjang.

“Pondok pesantren bukan lembaga yang membangkang hukum. Mereka justru lahir dari nilai ketaatan dan disiplin moral. Tetapi aturan teknis kadang tidak memahami konteks sosial dan historis pesantren,” ujarnya, Selasa (7/10/2025).

Pesantren, kata Shodiq, sejak dulu mendidik santri tentang arti keadilan, tanggung jawab, dan kepatuhan. Mereka mempraktikkan hukum dalam keseharian, bukan sekadar diajari teori.

Namun dalam implementasi hukum administratif modern, pesantren sering terjebak dalam aturan yang tak berpihak pada realitas.

“Hukum yang baik bukan hanya menertibkan, tapi juga melindungi. Jika pesantren menjadi tempat ibadah dan pendidikan umat, negara seharusnya mempermudah, bukan memperumit jalannya,” lanjutnya.

Ketika sebagian pihak menilai pondok pesantren sering abai terhadap aturan IMB atau PBG, kenyataannya justru sebaliknya.

Lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara itu tumbuh dari ketaatan hukum moral yang bahkan telah hidup jauh sebelum republik ini berdiri.

Sejak jauh sebelum Indonesia merdeka, pesantren ini menjadi pusat pendidikan, dakwah, dan keadilan sosial. Mereka berperan menegakkan hukum berbasis nurani, bukan sekadar dokumen.

Namun kini, di era regulasi administratif yang kaku, pesantren justru kerap terpojok karena perbedaan tafsir hukum.

“Pondok pesantren itu sejatinya bukan lembaga yang membangkang hukum. Mereka tumbuh dari nilai ketaatan dan disiplin moral. Hanya saja, aturan teknisnya sering tidak sensitif terhadap karakter sosial dan historis pesantren,” terang Achmad Shodiq, yang juga Ketua DPC IPHI Sidoarjo.

Menurut Shodiq, banyak pesantren berdiri di atas tanah wakaf yang diwariskan turun-temurun.

Bangunan-bangunannya didirikan melalui gotong royong masyarakat, bukan modal komersial. Pun juga tidak lepas dari dana bantuan atau dana hibah pemerintah.

Namun, begitu aturan baru diterapkan, pesantren lama diperlakukan sama seperti lembaga baru.

“Ada situasi di mana pesantren yang berdiri puluhan tahun lebih dulu justru diperlakukan sama seperti pendirian bangunan baru. Padahal hukum administrasi seharusnya memperhatikan asas keadilan historis dan sosial, bukan hanya formalitas dokumen,” tegasnya.

Kondisi ini menimbulkan ketimpangan di persimpangan, pesantren dituntut mengikuti aturan negara, tetapi negara lupa menyesuaikan hukum dengan konteks sejarah sosial pesantren.

Dalam logika hukum Islam, hal semacam ini disebut takhayyur fi al-ahkam — penyesuaian hukum berdasarkan kondisi dan kemaslahatan.

“Hukum yang baik bukan hanya menertibkan, tapi juga melindungi. Jika sebuah pesantren menjadi tempat belajar dan beribadah, maka negara berkewajiban memberi jalan keluar hukum, bukan menambah beban perizinan yang rumit,” lanjut Shodiq, advokat senior.

Ia menilai, regulasi seperti IMB dan PBG memang penting untuk menjamin keselamatan dan keteraturan bangunan.

Tetapi, penerapannya harus membedakan antara bangunan komersial dan lembaga sosial keagamaan. Apalagi pesantren berperan besar dalam pembangunan moral bangsa.

“Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang regulasi perizinan pondok pesantren. Ada banyak lembaga pendidikan keagamaan di desa-desa yang ikhlas mengajar tanpa pamrih, tapi malah kesulitan menyesuaikan diri dengan sistem birokrasi yang kaku,” pungkasnya.

Pesantren sejatinya bukan pembangkang hukum, tetapi penjaga nurani hukum itu sendiri.

Dalam dunia pesantren, hukum tidak hanya berarti kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga keadilan yang hidup di hati manusia.

Ia juga menekankan pentingnya prinsip keadilan substantif. Banyak pesantren berdiri sebelum sistem IMB dan PBG ada. Maka, logis jika mereka diberi program legalisasi bertahap, bukan sanksi.

“Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang regulasi perizinan pondok pesantren. Ada banyak lembaga keagamaan yang bekerja dengan keikhlasan, tapi justru tersandung oleh sistem birokrasi yang kaku,” tambah Shodiq.

Di titik itulah, negara seharusnya melihat pesantren bukan sebagai pelanggar, melainkan mitra dalam menjaga keteraturan dan moralitas bangsa.

Pesantren telah berabad-abad menjadi lumbung ilmu, moral, dan spiritual bangsa. Namun kini, lembaga yang dulu menjadi penjaga nurani hukum justru menghadapi tekanan dari sistem hukum administratif yang semakin rumit.

Fenomena ini memperlihatkan jurang antara hukum moral dan hukum formal. Negara memandang bangunan pesantren sebagai objek administratif, sedangkan masyarakat melihatnya sebagai simbol kemaslahatan umat.

Akibatnya, pesantren yang berdiri puluhan tahun bisa dianggap melanggar hanya karena tidak memiliki izin teknis terbaru.

Baginya, solusi terbaik adalah sinergi: pemerintah, pesantren, dan masyarakat harus duduk bersama.

Negara perlu membuat kebijakan legalisasi bertahap bagi pesantren lama, serta mempermudah izin bagi lembaga sosial keagamaan baru.

“Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang regulasi perizinan pondok pesantren. Ada banyak lembaga keagamaan di desa yang ikhlas mengajar tanpa pamrih, tapi malah kesulitan menyesuaikan diri dengan sistem birokrasi yang kaku,” pungkasnya.

Pesantren tidak pernah menolak hukum. Mereka justru menjaga agar hukum tidak kehilangan hati.

Selama negara mau mendengar suara nurani itu, pungkas Shodiq, hukum di Indonesia akan tetap hidup — bukan hanya di atas kertas, tapi di hati umat.