Ruang.co.id – Pembahasan revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) kembali mencuat sebagai harapan baru untuk menyelesaikan masalah struktural di dunia pendidikan. Anggota Komite III DPD RI, Lia Istifhama, menegaskan bahwa perubahan regulasi ini harus menyentuh tiga isu kritis: akses pendidikan inklusif, ketimpangan anggaran sekolah swasta, dan beban administratif guru yang menggerus kualitas pembelajaran.
Pendidikan Inklusif Masih Jadi Pajangan Administrasi
Dalam forum legislasi di Jakarta (3/6/2025), Lia membeberkan fakta miris tentang implementasi pendidikan inklusif yang sekadar formalitas. “Di Surabaya, kelas untuk siswa difabel hanya muncul ketika ada laporan resmi. Tanpa permintaan, fasilitas pendukung seperti kurikulum adaptif atau aksesibilitas fisik diabaikan,” ujarnya.
Padahal, menurut data Kemendikbudristek 2024, hanya 1 dari 7 sekolah di Indonesia yang memiliki infrastruktur memadai untuk penyandang disabilitas. Kondisi ini memperlebar kesenjangan pendidikan dan bertentangan dengan prinsip Merdeka Belajar yang digaungkan pemerintah.
Dominasi PTN dan Ancaman Kepunahan Kampus Swasta
Persoalan lain yang mengemuka adalah ketidakadilan regulasi antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS). Lia menyoroti kebijakan penerimaan mahasiswa yang diskriminatif: “PTN bebas menambah kuota tanpa batas, sementara PTS kesulitan menarik minat calon mahasiswa.”
Ia mengusulkan formula pendanaan berkeadilan, seperti insentif pajak untuk PTS atau kemitraan strategis PTN-PTS dalam penelitian. Tanpa intervensi kebijakan, ancaman kampus gulung tikar akan semakin nyata. Data Ditjen Dikti 2025 mencatat, 12% PTS di Jawa Timur berada di ambang kebangkrutan akibat minimnya pendaftar.
Guru Terjebak dalam Jerat Administrasi
Sebagai mantan dosen, Lia memahami betul bagaimana beban administratif menggerus waktu mengajar. “Selama pandemi, saya kehilangan tunjangan profesi 10 bulan karena laporan yang menumpuk. Banyak rekan guru mengalami nasib serupa,” kisahnya.
Survei terbaru Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mengungkapkan, guru menghabiskan 14 jam per minggu hanya untuk mengurus dokumen. Ironisnya, kualitas interaksi dengan siswa justru terabaikan. Padahal, penguatan kompetensi pendidik seharusnya menjadi tulang punggung revolusi pendidikan.
Langkah Strategis dalam Revisi UU Sisdiknas
Pemerintah perlu memasukkan sanksi tegas bagi sekolah yang mengabaikan inklusivitas, termasuk pencabutan izin operasional. Untuk pemerataan anggaran, kuota PTN bisa dibatasi maksimal 60% dengan alokasi dana afirmatif ke PTS.
Di sisi guru, digitalisasi pelaporan dan penghapusan 40% tugas administratif non-esensial bisa menjadi solusi. Contoh sukses ada di Finlandia, di mana guru hanya fokus pada pengajaran dengan dukungan sistem terintegrasi.