Ruang.co.id – Aksi unjuk rasa menyikapi pengesahan UU TNI yang berujung ricuh di Jawa Timur dan beberapa daerah lainnya memantulkan suara kritis dari kalangan ulama. Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, Ketua Umum Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu), menawarkan perspektif berbeda yang berporos pada konsep keadilan substantif.
“Pilihan pensiun dini sebenarnya solusi yang lebih berkeadilan,” tegas Kiai Asep Saifuddin Chalim. Gagasan ini bukan sekadar wacana, melainkan sebuah terobosan yang mempertimbangkan hak-hak personel militer sekaligus menjaga stabilitas nasional. Menurutnya, pensiun dini berbeda secara fundamental dengan pengunduran diri, karena status sebagai pegawai negeri tetap dipertahankan meski tidak lagi aktif bertugas.
Chalim menjelaskan dengan gamblang tentang konsep keseimbangan yang menjadi dasar pemikirannya. Baik TNI maupun Polri, dalam pandangannya, sama-sama merupakan komponen angkatan bersenjata yang memiliki tanggung jawab identik dalam menjaga kedaulatan negara. “Ketika negara memanggil, mereka adalah personel yang dibutuhkan,” ujarnya menegaskan.
Solusi pensiun dini ini dinilainya sebagai bentuk pengorbanan yang proporsional. Dengan mekanisme ini, personel yang beralih status ke sipil tetap mendapatkan hak pensiunnya, sementara negara tidak kehilangan sumber daya manusia yang telah terlatih. Pendekatan ini sekaligus menjawab keresahan tentang potensi pelanggaran hak asasi manusia yang kerap menjadi isu sensitif dalam berbagai aksi demonstrasi.
Lebih dari sekadar menawarkan solusi teknis, Kiai Asep Saifuddin Chalim mengajukan lima prinsip fundamental yang menurutnya menjadi syarat mutlak terwujudnya Indonesia yang adil dan makmur. Prinsip pertama adalah kejujuran, yang menjadi landasan segala bentuk kebijakan publik. Tanpa kejujuran, mustahil tercipta tata kelola negara yang baik.
Kedisiplinan menjadi prinsip kedua yang tidak kalah pentingnya. Dalam konteks polemik UU TNI, kedisiplinan ini harus dimaknai sebagai kepatuhan terhadap proses hukum yang berlaku, bukan melalui aksi-aksi anarkis di jalanan. Prinsip ketiga adalah akhlak mulia yang menekankan pada penyelesaian masalah melalui dialog konstruktif, bukan konfrontasi.
Kerja keras sebagai prinsip keempat menuntut semua pihak fokus pada pembangunan bangsa, bukan menghabiskan energi untuk aksi-aksi yang berpotensi merusak. Terakhir, prinsip kedamaian mengingatkan semua elemen bangsa untuk selalu mengutamakan harmoni sosial. “Mahasiswa dan masyarakat perlu mengendalikan diri. Demonstrasi bukan jalan terbaik jika tidak disertai tekad kuat mewujudkan ideologi damai,” tegas Kiai Asep Saifuddin.
Kiai Asep Saifuddin Chalim memberikan apresiasi terhadap langkah-langkah strategis yang telah dirintis oleh Presiden Prabowo, khususnya dalam hal hilirisasi kebijakan. Menurutnya, kerangka besar pembangunan sudah tepat, yang sekarang dibutuhkan adalah penguatan aspek kedamaian dalam implementasinya.
“Nurani manusia selalu mendamba keadilan,” ungkap Kiai Asep Saifuddin dengan penuh keyakinan. Ketika suatu kebijakan benar-benar berpijak pada prinsip keadilan, maka dukungan dari seluruh rakyat akan mengalir dengan sendirinya. Inilah yang menjadi kunci stabilisasi nasional di tengah berbagai dinamika politik yang terjadi.
Tawaran solusi dari Kiai Asep Saifuddin Chalim ini sesungguhnya merupakan jalan tengah yang elegan. Di satu sisi, hak-hak personel militer sepenuhnya dihormati melalui mekanisme pensiun dini. Di sisi lain, stabilitas keamanan nasional tetap terjaga karena tidak ada kekosongan dalam sistem pertahanan negara.
Pendekatan ini sekaligus menjawab keresahan berbagai pihak yang mengkhawatirkan dampak sosial dari kebijakan UU TNI. Dengan memegang teguh lima prinsip dasar yang diajukan Chalim, polemik yang terjadi saat ini bisa diubah menjadi momentum untuk memperkuat persatuan bangsa, bukan sebaliknya.