Ruang.co.id ā Duka mendalam menyelimuti keluarga Anjar Guntoro (41), warga Medokan Ayu, Rungkut, Surabaya. Harapan mereka agar Ia segera pulih, justru berubah menjadi tragedi memilukan.
Ia datang ke RS Royal Surabaya pada 22 Mei 2025 dalam keadaan sadar dan masih bisa merespons. Namun hanya empat hari kemudian, ia pulang dalam kondisi tak bernyawa.
Anjar meninggal dunia setelah mendapat tindakan medis kontroversial di RS Royal Surabaya pada 22 Mei 2025.
Menurut keterangan tim kuasa hukum dari Palenggahan Hukum Nusantara, pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi sadar, mampu merespons komunikasi, meski tangan dan kaki kanannya lemah.
Namun, tanpa menunggu hasil diagnosis, perawat memberikan dua jenis obat dalam jumlah total delapan butir untuk diminum sekaligus, obat yng diberikannya itu bernama Clopidogrel 75 mg (4 butir) dan Aptor Tab 75 mg (4 butir).
āYang sangat kami sesalkan, obat diberikan kepada keluarga untuk diminumkan sendiri, bukan oleh tenaga medis. Bahkan saat keluarga bertanya apakah ini aman, pihak perawat dan dokter jaga menjawab tidak masalah, karena ini pengencer darah,ā ujar Achmad Shodiq, S.H., MH.,M.Kn., pimpinan kuasa hukum dari PHN di ruang kerjanya, Kamis (17/7/2025).
Yang mengherankan bagi keluarga Anjar, mengapa paru-parunya tidak disentuh? Padahal keluhan utama di situ. Sedangkan si pasien kliennya punya riwayat TB paru yang sudah dinyatakan sembuh tahun 2022 lalu, kisah penuturan Achmad Shodiq.
Dikisahkan Shodiq, sapaan akrabnya, tak lama setelah obat diminum, pasien mengeluh panas di dada, napas sesak, dan menangis kesakitan.
Ia kemudian dipindahkan ke ruang ICU, dipasangi alat bantu napas, lalu dirujuk ke RSUD dr. Soewandhi Surabaya keesokan harinya.
Aneh bin ajaib, catatan medis soal konsumsi 8 butir obat tak tercantum dalam dokumen rujukan.
Pada 26 Mei 2025 malam, dokter paru di RSUD Soewandhi sempat mengatakan paru-paru pasien memburuk dan akan dilakukan pemeriksaan dahak. Namun satu jam kemudian, kabar duka datang, bahwa Anjar telah meninggal dunia.
Yang semakin membuat keluarga syok, dokter tidak menjelaskan penyebab pasti kematian. Bahkan, pihak rumah sakit sempat menyarankan agar jenazah langsung dibawa pulang dan dimakamkan malam itu juga, tanpa keterangan resmi.
āIni bukan hanya soal kehilangan. Ini soal hak hidup. Ada indikasi kuat kelalaian, dan klien kami akan menuntut keadilan melalui jalur hukum,ā Ahmad Zainal, S.H., anggota PHN kuasa hukum korban.
āDi RS Soewandhi, alat bantu napas diatur ulang oleh dokter syaraf dr. Dian. Pasien jauh lebih tenang. Tapi anehnya, fokus perawatan tetap diarahkan ke syaraf, bukan paru-paru, padahal yang dikeluhkan berat di dada dan sesak napas,ā ungkap Shodiq yang mendampingi Imam Syafiāi, perwakilan keluarga.
Kisah Anjar selanjutnya begitu tragis, membuat pilu dan semua keluarga besarnya terpukul larut dalam kesedihan. Perasaannya campur aduk, antara duka nestapa mendalam berbaur geram atas pelayanan pihak medis sebelum dirujuk.
Pada 26 Mei 2025 pukul 19.30 WIB, keluarga mendapat kabar dari dokter paru bahwa kondisi paru-paru Anjar memburuk dan akan dilakukan pemeriksaan dahak.
Namun belum sempat hasil keluar, pukul 21.00 WIB Anjar dinyatakan meninggal dunia.
āPasien punya riwayat TB Paru yang sudah dinyatakan sembuh oleh dr. Arief Bachtiar tahun 2022. Tapi pemberian obat sebanyak itu, tanpa pertimbangan riwayat penyakit, lalu pemasangan alat bantu yang salah setting, itu kelalaian fatal,ā tegas Ahmad Naufal Pratama, SH. anggota tim hukum.
Usai 7 hari tahlil kematian Anjar kemudian, kini, keluarganya menuntut pertanggungjawaban RS Royal Surabaya, baik secara hukum maupun etik kedokteran.
Mereka mendesak IDI dan Kementerian Kesehatan turun tangan menyelidiki dugaan malapraktik yang merenggut nyawa orang terkasih mereka.
āAnjar datang dalam kondisi masih bisa tertawa. Tapi ia pulang dalam peti mati. Ini bukan tragedi biasa,ā pungkas Imam, dengan mata berkaca-kaca.
Hal ini dibenarkan PHN sebagai tim kuasa hukum keluarga Anjar, bahwa diyakini terdapat potensi dugaan malapraktik, serta menuntut keadilan agar kasus serupa tak terulang.
āKami tak akan berhenti sebelum ada keadilan. Pasien datang untuk sembuh, bukan untuk pulang dalam peti jenazah,ā Achmad Shodiq yang juga Ketua Dewan Pendiri Persaudaraan Paguyuban Pengacara Indonesia (P3I).
Kini, keluarga korban dan publik menanti langkah tegas Kementerian Kesehatan, IDI, hingga Polda Jatim untuk menindak kasus ini.
Tragedi Anjar menjadi peringatan serius soal lemahnya prosedur dan etik pelayanan medis di Indonesia.

