Ruang.co.id ā Di tengah denyut nadi dan hiruk-pikuk arus lalu lintas Jalan Kedungdoro, Surabaya, tersembunyi narasi kehidupan yang penuh kepiluan sekaligus harapan. Di atas permukaan trotoar inilah, para pencari nafkah menggantungkan mata pencaharian mereka setiap harinya, menjadikan ruang pejalan kaki itu sebagai panggung perjuangan hidup. Menyikapi hal ini, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya melakukan intervensi pada Rabu (25/6/2025). Namun, intervensi ini membawa wajah baru yang mengejutkan. Mereka turun tangan bukan dengan tujuan menggusur secara paksa, melainkan dengan niat tulus untuk merangkul dan mencari solusi bersama.
Operasi penertiban yang dipimpin langsung oleh Kepala Satpol PP Kota Surabaya, Achmad Zaini, ini merupakan bagian integral dari upaya strategis Pemerintah Kota Surabaya. Tujuannya jelas dan mendasar: mengembalikan fungsi hakiki trotoar sebagai ruang publik yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki. Pendekatan yang diambil pun secara sengaja meninggalkan bayang-bayang lama tentang aparat yang keras dan kaku. Sebaliknya, mereka memilih untuk hadir dengan membawa hati dan empati. “Kami datang bukan untuk mengusir, tapi mengajak. Trotoar harus kembali pada fungsinya, tapi manusia di atasnya tidak boleh dilupakan,” tegas Zaini, menggarisbawahi filosofi baru di balik aksi tersebut. Filosofi ini menjadi landasan moral yang mengubah dinamika penertiban menjadi dialog konstruktif.
Operasi yang melibatkan sinergi dengan Dinas Perhubungan serta perangkat dari Kecamatan Sawahan dan Tegalsari ini menunjukkan wujud nyata pendekatan baru tersebut. Saat menemukan beberapa mobil dari usaha variasi kendaraan yang memarkir di bahu jalan dan trotoar, tindakan diambil. Mobil-mobil itu didorong keluar dari area yang bukan semestinya, dan satu di antaranya bahkan harus diderek. Namun, langkah petugas tidak berhenti pada tindakan penertiban semata. Di sinilah keunikan dan kehangatan pendekatan itu terpancar. Petugas justru secara aktif mengantar kendaraan tersebut hingga sampai ke rumah pemiliknya. Tindakan proaktif inilah yang memancing respons penuh apresiasi dari Bambang (45), pengusaha bengkel variasi mobil yang terkena dampak. “Kami sepakat mobilnya dipindah, dan petugas membantu sampai tuntas. Ternyata Surabaya bisa sebaik ini penanganannya,” ucapnya, mengungkapkan kejutan positif atas pelayanan yang tidak terduga.
Pendekatan serupa juga diterapkan kepada setiap Pedagang Kaki Lima (PKL) yang terdampak operasi. Mereka tidak serta-merta diusir, melainkan diberikan pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya fungsi trotoar bagi kelancaran dan keselamatan publik. Lebih dari itu, petugas tidak datang dengan tangan kosong; mereka datang membawa solusi alternatif. Informasi mengenai lokasi-lokasi relokasi yang lebih aman dan telah memiliki status legal disampaikan sebagai jalan keluar konkret, menunjukkan komitmen untuk tidak sekadar menertibkan, tetapi juga memikirkan kelangsungan hidup warga.
Landasan formal operasi ini adalah Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 2 Tahun 2020 tentang Ketertiban Umum. Namun, makna yang diusung jauh lebih dalam daripada sekadar penegakan aturan. Operasi ini bermuara pada upaya mulia mengembalikan wajah kota yang tertib dan berwibawa, tanpa harus mengorbankan atau menghapuskan kisah hidup dan sumber penghidupan para penghuni ruang kota itu sendiri. Sebagaimana ditegaskan oleh Kepala Satpol PP, Zaini, “Kota yang tertib bukan berarti tanpa warna. Kita ingin ruang yang tertata, tapi tetap manusiawi.” Pernyataan ini menjadi kristalisasi dari visi baru tata kelola ruang publik. Surabaya sedang menunjukkan pertumbuhan yang tidak hanya bersifat fisik dan infrastruktural, tetapi juga pertumbuhan hati nurani. Melalui peristiwa di Jalan Kedungdoro ini, Surabaya menjadi cermin yang memantulkan prinsip bahwa penegakan hukum dan ketertiban dapat, dan harus, dijalankan dengan tetap memelihara rasa kemanusiaan yang mendalam.

