Surabaya, Ruang.co.id – Tiga hakim yang diduga terlibat dalam kasus suap terkait vonis Ronald Tannur, terdakwa dalam kasus pembunuhan dan penganiayaan terhadap Dini Sera Afrianti, resmi ditahan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Ketiganya ditahan di ruang isolasi Rutan Cabang Kelas 1 Surabaya di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) selama 14 hari.
Penahanan ketiga hakim tersebut diumumkan oleh Kepala Kejati Jatim, Mia Amiati. Menurutnya, langkah ini dilakukan karena lokasi perkara berada di wilayah hukum Kejati Jatim. “Kami mendukung sepenuhnya proses penegakan hukum ini. Para hakim tersebut akan ditahan di ruang isolasi selama 14 hari sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku untuk tahanan baru,” jelas Mia, Kamis (24/10).
Ketiga hakim yang ditangkap adalah Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo. Mereka dituduh menerima suap dalam proses peradilan yang melibatkan Ronald Tannur. Mereka ditangkap bersama dengan 43 tahanan lainnya di Rutan Kejati Jatim. Kapasitas rutan tersebut sebenarnya mampu menampung hingga 90 tahanan, sehingga masih terdapat ruang yang cukup untuk menampung mereka.
Penangkapan ini tidak akan mengganggu jalannya persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya maupun pengadilan lain di Jawa Timur. Mia Amiati menegaskan bahwa penangkapan ini merupakan bagian dari penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan, dan tidak berkaitan dengan institusi pengadilan secara keseluruhan. “Ini adalah tindakan terhadap individu yang diduga sebagai oknum mafia peradilan. Kami memastikan proses hukum tetap berjalan secara profesional,” katanya.
Penangkapan ketiga hakim tersebut dilakukan setelah adanya perintah dari Jaksa Agung ST Burhanuddin, yang tengah menggalakkan kampanye bersih-bersih di tubuh lembaga peradilan. Langkah ini dipandang sebagai bagian dari upaya menjaga integritas hukum di Indonesia.
Selain ketiga hakim, seorang pengacara bernama LR juga ikut ditangkap di Jakarta. Mereka kini menyandang status sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar pasal-pasal terkait tindak pidana korupsi, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.