Ruang.co.id – Setiap 1 Mei, jutaan buruh di seluruh dunia memperingati Hari Buruhābukan sekadar hari libur, melainkan simbol perjuangan panjang kelas pekerja. Tanggal ini menyimpan sejarah kelam sekaligus heroik, dimulai dari kerusuhan berdarah hingga diakui sebagai momen solidaritas global. Lantas, bagaimana awal mula 1 Mei ditetapkan sebagai hari sakral bagi buruh?
Tragedi Haymarket: Pemicu Gerakan Buruh Modern
Sejarah mencatat, penetapan Hari Buruh Internasional berawal dari Kerusuhan Haymarket di Chicago pada 1886. Saat itu, puluhan ribu buruh turun ke jalan menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam per hari. Aksi damai berubah ricuh ketika bom meledak dan polisi menembaki massa. Peristiwa berdarah ini menjadi titik balik gerakan buruh global.
Tiga tahun setelah tragedi itu, tepatnya 1889, federasi internasional kelompok sosialis dan serikat buruh menetapkan 1 Mei sebagai hari peringatan resmi. Tanggal ini dipilih untuk mengenang pengorbanan para buruh Chicago sekaligus memperkuat tuntutan hak-hak pekerja di seluruh dunia.
Pergeseran Makna: Dari Festival Musim Semi ke Simbol Perlawanan
Sebelum menjadi hari perjuangan buruh, 1 Mei di Eropa sebenarnya merupakan festival pagan yang merayakan datangnya musim semi. Masyarakat pedesaan biasa mengadakan pesta rakyat dengan tarian dan api unggun. Namun, seiring menguatnya gerakan buruh di abad ke-19, makna festival ini berubah total.
Kelompok buruh memanfaatkan momentum 1 Mei untuk menggalang kekuatan. Alih-alih berpesta, mereka mengorganisir mogok kerja dan demonstrasi. Perlahan, tanggal ini berubah menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan sistem kerja. Kini, di banyak negaraātermasuk Indonesiaāperayaan Hari Buruh diwarnai pawai, orasi, hingga negosiasi upah.
Hari Buruh Kini: Antara Perjuangan dan Perayaan
Meski telah resmi menjadi libur nasional di puluhan negara, esensi Hari Buruh tetap sama: memperjuangkan hak pekerja. Setiap tahun, buruh dari berbagai sektor berkumpul untuk menyuarakan tuntutan, mulai dari upah layak, jaminan sosial, hingga perlindungan dari pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak.
Di sisi lain, beberapa komunitas merayakannya dengan karnaval atau konser musik, menunjukkan bahwa semangat solidaritas bisa diekspresikan dengan cara yang beragam. Yang tak berubah adalah pesan intinya: buruh adalah tulang punggung perekonomian, dan hak-hak mereka harus dilindungi.
Mengapa Hari Buruh Masih Relevan di Era Modern?
Di tengah isu otomatisasi dan PHK massal, peringatan Hari Buruh justru semakin krusial. Kasus pekerja yang dirugikan masih marak, mulai dari upah di bawah standar hingga jam kerja berlebihan. Tanggal 1 Mei mengingatkan kita bahwa perjuangan buruh belum usaiāhanya bentuknya yang berubah.
Di Indonesia misalnya, aksi buruh kerap menyoroti outsourcing dan upah minimum. Sementara di negara lain, isu kesetaraan gender di tempat kerja menjadi sorotan. Inilah kekuatan Hari Buruh: ia mampu beradaptasi dengan isu zaman, namun tetap setia pada misi awalnya: keadilan untuk pekerja.

