Sidoarjo, Ruang.co.id ā Nuansa demokrasi kembali diuji di ruang Paripurna DPRD Sidoarjo. Sorotan publik tertuju pada rapat paripurna Selasa sore (17/6/2025) yang menjadi panggung drama politik. Ketika Bupati Subandi secara terbuka menyampaikan permintaan maaf, atas ucapannya waktu lalu yang sempat viral di medsos.
Namun, niat baik itu ternyata tak mampu membendung gelombang ketidakpuasan sejumlah legislator yang memilih meninggalkan sidang alias walk out (WO).
Suasana di dalam gedung yang biasanya penuh formalitas, berubah menjadi emosional. Saat Bupati Subandi berdiri di podium, lalu dengan suara yang tenang, menyampaikan permintaan maaf di hadapan para wakil rakyat.
Begini pidato permintaan maaf Bupati Subandi, āKalimat yang menimbulkan friksi politik berkepanjangan, dengan tujuan menciptakan situasi yang tidak kondusif, dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Sehingga menyebut hal ini, dengan segala keredahan hati sebagai jiwa seorang pemimpin dan kenegarawan, demi menciptakan situasi yang tentram dan kondusif. KAMI MOHON MAAF SETULUSNYA. Semoga friksi ini bisa berakhirā.
Tepuk tangan menggema dari sebagian hadirin sebagai respons atas permintaan maaf itu. Namun, seperti dalam panggung besar demokrasi, tidak semua aktor panggung terkesan.
Bara Kekecewaan Legislator
Diketahui, permintaan maaf yang diutarakan itu adalah respons atas reaksi keras enam dari tujuh fraksi DPRD terhadap pernyataan Bupati sebelumnya yang menyebut anggota DPRD ākerjanya menghambur-hamburkan uangā terkait dana Pokok Pikiran (Pokir). Ucapan tersebut viral di media sosial dan dinilai merendahkan martabat lembaga legislatif.
Ketegangan memuncak saat interupsi mengejutkan dilontarkan Bambang Pujianto dari Fraksi Gerindra.
“Kami dari Fraksi Gerindra beserta beberapa fraksi lain, merasa tidak puas. Maka pak ketua pimpinan, kami WO,ā tegas Bambang sembari berdiri dan meninggalkan ruangan.
Gerakannya seperti sinyal domino. Legislator dari PDIP, PAN, Demokrat-NasDem, hingga sebagian PKB dan PKS ikut menyusul keluar. Ada yang memilih diam, ada pula yang menunduk dengan raut kecewa.
Sekalipun Abdillah Nasih pimpinan sidang, mencoba meredam anggota dewan yang WO untuk menahan diri dengan ucapan, āTiada Gading yang tak retak, Allaah saja Maha Pemaafā, namun tak diindahkannya.
Dari data yang dihimpun, yang melakukan ksi WO mayoritas anggota Fraksi PDIP (9 orang), Gerindra (9 orang), PAN (4), serta gabungan Demokrat-NasDem (3 dari 4 kursi), PKS dan PPP (4) ikut WO. Dari PKB, 10 dari 15 anggota juga memilih keluar. Hanya Fraksi Golkar besrrta semua anggotanya dan sebagian PKB yang konsisten bertahan di ruang sidang.
Antara Simbolik dan Substansi Maaf
Kusumo Adi Nugroho, legislator muda PDIP yang vokal, mengaku sikap fraksinya WO bukan karena ingin menciptakan kegaduhan, tetapi merasa maaf Bupati tidak cukup substantif.
āPermintaan maafnya kurang spesifik dan tidak serius. Kurang straight to the point, intinya seperti itu sih.,ā jelas Kusumo.
Namun tidak semua fraksi berada di kubu yang sama. Ketua Fraksi Golkar, M. Nizar, sikap fraksinya menerima maaf Bupati dengan lapang dada. Bahkan Ia mengajak semua pihak untuk move on dan memaknai maaf secara dewasa.
āKami menerima maaf itu dengan lapang dada. Ucapan yang dulu menyakiti sudah ditebus. Jadi apa lagi yang kurang?ā ujarnya tenang.
Ia menilai, sikap WO justru dapat berdampak pada citra publik terhadap legislatif dan menyayangkan jika sidang-sidang penting dikhawatirkan akan menjadi penilaian minor di masyarakat/ publik Sidoarjo, terkesan ajang tarik ulur ego politik.
Netralitas yang Terjaga
Di tengah keruhnya tensi politik, suara netral justru muncul dari Fraksi PKB. Ketua Fraksi Moh. Dhamroni Chudlori menyatakan bahwa sikap WO dari sebagian anggota fraksinya adalah keputusan pribadi, bukan keputusan institusional.
āKalau masalah ada anggota yang keluar, itu pribadi ya. Kami, secara fraksi, sudah menerima maaf Bupati,ā tegas Dhamroni.
Ia bahkan mengingatkan nilai-nilai spiritual dalam menyikapi konflik politik.
āAllah saja Maha Pemaaf. Kok kita masih enggak bisa memaafkan?,ā dengn menirukan ucapan Ketua DPRD disaat sidang.
Namun Dhamroni juga menggarisbawahi pentingnya disiplin internal. Bila ada anggota yang tak mengikuti keputusan fraksi, tidak menutup kemungkinan ada evaluasi dn sanksi.
Refleksi Demokrasi Sidoarjo
Peristiwa ini menunjukkan bahwa politik lokal tak kalah dinamis dari panggung nasional. Permintaan maaf seorang pemimpin bisa menjadi momen refleksi kebesaran jiwa, namun juga bisa memunculkan dilema bila maaf dianggap tidak sepadan dengan luka yang ditinggalkan.
Bagi legislator yang masih terluka, Walk out bukan sekadar aksi meninggalkan ruangan, tetapi simbol dari perasaan yang tak tertampung oleh kata-kata. Dan di ruang publik seperti Sidoarjo, gestur itu bisa berbicara lebih nyaring dari pidato resmi.
Kini, publik khususnya warga Sidoarjo menantikan, akankah ini menjadi akhir dari friksi berkepanjangan, atau justru membuka babak baru perpecahan?
āMoga aja konflik elit pejabat dan anggota dewan tidak berkepanjangan. Pastinya berpengaruh dengan janji perbaikan dan perubahan pembangunan Sidoarjo akan jadi lamban,ā pinta Yasmin warga Sidoarjo Kota.
Yang pasti, dari kisah aksi WO ini telah merekam satu bab penting dalam perjalanan demokrasi di Sidoarjo, di mana maaf ternyata tidak selalu menutup luka.

