Ruang.co.id – Dunia kedokteran forensik Indonesia kembali diuji. Jerit ketidakadilan menggema dari keluarga korban kecelakaan maut di Sumenep yang menolak tegas laporan otopsi forensik penuh kejanggalan. Kuasa hukum keluarga korban, Moh. Waris, secara resmi melaporkan dr. Tutik Purwanti, dokter spesialis forensik RS Bhayangkara Surabaya, ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI Jawa Timur. Laporan ini mengungkap potensi pelanggaran etik berat dalam penyusunan visum et repertum yang dinilai bertentangan dengan fakta lapangan dan berisiko menyesatkan proses peradilan. Selasa, (08/7/2025).
Awalnya, peristiwa ini hanyalah kasus kecelakaan lalu lintas biasa di Jalan Raya Desa Sergang, Kecamatan Batuputih. Pada 21 April 2025 pukul 06.30 WIB, Matwani bin Mosahran yang mengendarai sepeda motor bertabrakan dengan Hindun, seorang pengayuh sepeda pancal. Kedua korban dilarikan ke RSUD dr. H. Moh. Anwar dengan luka-luka. Namun, tujuh hari kemudian, Matwani meninggal dunia.
Polres Sumenep telah mencatat peristiwa ini sebagai kecelakaan biasa melalui LP/A/83/IV/2025. Anehnya, hanya berselang satu hari setelah laporan resmi itu terdaftar, muncul LP/B/197/IV/2025 yang mengubah wajah kasus menjadi dugaan penganiayaan. Perubahan mendadak ini memicu tanda tanya besar: Apa yang sebenarnya terjadi di balik layar?
Sulaisi Abdurrazaq, kuasa hukum keluarga korban, mengecam keras penggunaan terminologi hukum dalam kesimpulan medis dr. Tutik. “Kata ‘dipukul berkali-kali’ dan ‘pembunuhan’ adalah istilah hukum, bukan medis,” tegasnya. Padahal, kode etik kedokteran jelas melarang dokter membuat kesimpulan yang bersifat hukum.
Yang lebih mengejutkan, laporan otopsi tersebut menyatakan bahwa luka pada jenazah Matwani bukan akibat kecelakaan, melainkan karena tindak kekerasan. Kesimpulan ini langsung mengubah peta hukum dengan menjadikan Moh. Waris bin Sumahwan sebagai tersangka penganiayaan. Padahal, tidak ada satu pun saksi yang melihat adanya pemukulan sebelum kematian Matwani.
Masalah lain yang memperkeruh situasi adalah terbatasnya akses terhadap dokumen otopsi. “Kami hanya diperlihatkan sepintas oleh penyidik, tidak diberikan salinan resmi,” ungkap Sulaisi. Ketidaktransparanan ini bertolak belakang dengan prinsip due process of law yang mensyaratkan keterbukaan informasi dalam proses peradilan.
Fakta di lapangan semakin memperkuat kecurigaan ketidaksesuaian laporan. Tidak ada saksi mata yang melihat kekerasan, sementara laporan polisi awal sudah menetapkan Matwani sebagai tersangka kecelakaan. Pertanyaan kritis muncul: Apakah laporan forensik ini benar-benar independen atau ada intervensi dari pihak tertentu?
Kuasa hukum korban menduga kuat adanya kontaminasi dalam penyusunan laporan. “Kami curiga ada pengaruh dari aparat agar kesimpulan medis mendukung narasi penyidikan tertentu,” tegas Sulaisi. Jika dugaan ini benar, praktik semacam ini merupakan tamparan keras bagi integritas penegakan hukum di Indonesia.
Atas dasar itu, keluarga korban mendesak MKEK IDI Jatim untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap laporan forensik tersebut. Mereka juga meminta evaluasi terhadap praktik kedokteran forensik agar tidak lagi menjadi alat untuk memutarbalikkan fakta. “Jika dibiarkan, masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada sistem peradilan dan profesi kedokteran,” pungkas Sulaisi.

